SERBA SERBI GERHANA

SERBA SERBI GERHANA

Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie

Sehubungan dengan adanya prakiraan terjadinya gerhana bulan, maka dibawah ini poin poin penting tentang hukum yang berkaitan dengan GERHANA :

[1] Gerhana matahari ( Khusufusy Syams ) adalah hilangnya cahaya matahari sebagian atau total pada waktu siang. Adapun gerhana bulan ( Khusuful Qamar ) adalah hilangnya cahaya bulan. sebagian atau total pada waktu malam.

Para ulama ahli fikih membedakan istilah untuk gerhana, dimana mereka mengistilahkan kusuf untuk gerhana matahari sementara untuk gerhana bulan mereka menamakannya dengan khusuf. Namun sebagian ulama tidak membedakan antara istilah kusuf dengan khusuf , dimana boleh menamakan gerhana matahari dengan khusufus syams juga menamakan gerhana bulan dengan kusuful Qomar. (Lihat Fathul Bari, Ibnu hajar 2/535)

[2] Ditinjau dari fenomena gejala alam, Gerhana matahari disebabkan karena posisi bulan berada ditengah tengah antara matahari dan pandangan kita. Adapun gerhana bulan disebabkan posisi bumi yang berada diantara bulan dan matahari ( Miftah Daris Sa’adah, Ibnu Qoyyim 4/99).

[3] Hikmah syar’iyah terjadinya gerhana adalah untuk menakut nakuti para hamba agar mereka sadar dan ingat akan negeri akhirat, ingat hari kiamat, ingat surga dan neraka, yang pada akhirnya agar para hamba kembali ke jalan Allah.

Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda;

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِمَا عِبَادَهُ وَإِنَّهُمَا لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ مِنْ النَّاسِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوْا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يُكْشَفَ مَا بِكُمْ

”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda (kekuasaan) Allah. Allah menggunakan keduanya untuk menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Dan sesungguhnya keduanya tidak mengalami gerhana karena meninggalnya seorang manusia. Jika kalian melihat sesuatu (gerhana) darinya, maka shalatlah dan berdoalah kepada Allah, hingga apa yang ada pada kalian dihilangkan.” (HR Muslim : 2153)

Syaikh Abdul ‘Aziz Ibnu Baz –rahimahullah- berkata :

وما يقع من خسوف وكسوف في الشمس والقمر ونحو ذلك مما يبتلي الله به عباده هو تخويف منه سبحانه وتعالى وتحذير لعباده من التمادي في الطغيان، وحث لهم على الرجوع والإنابة إليه

“Kejadian gerhana bulan atau matahari, atau fenomena yang semisalnya, merupakan ujian Allah untuk hamba-hambaNya. Yaitu untuk menimbulkan rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan peringatan kepada mereka dari berlarut-larut dalam kemaksiatan. Dan supaya mendorong mereka untuk kembali ke jalan Allah” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 9/157).

[4] Ketika terjadi gerhana disyariatkan Shalat Gerhana, hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama namun hukumnya ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Sebagian mereka mengatakan hukumnya adalah Sunnah Muakkadah bagi setiap muslim dan muslimah, yang mukim (menetap) maupun di perjalanan, inilah pendapatnya mayoritas para ulama. Sebagian lagi mengatakan wajib seperti imam Abu hanifah –rahimahullah- (Fathul Bari 2/527).

[5] Tidak melakukan shalat gerhana kecuali bila gerhananya terlihat. Maka hukum asal disyari’atkan nya shalat gerhana itu karena sebab melihat gerhana bukan karena sebab dengar berita di internet, atau di koran atau lihat berita di TV.

Dalilnya adalah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا، فَصَلُّوا، وَادْعُوا حَتَّى يُكْشَفَ مَا بِكُمْ

“Sesungguhnya matahari dan bulan itu tidak gerhana karena matinya seseorang , maka apabila kalian melihat keduanya gerhana shalat lah, berdo’alah sehingga terang” (HR Bukhari : 1040)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang gerhana yang bisa dilihat oleh alat khusus bukan oleh mata telanjang biasa apakah juga harus shalat ? maka beliau menjawab ;

لايجوز أن يصلي اعتماداً على ما ينشر في الجرائد، أو يذكر بعض الفلكيين، إذا كانت السماء غيماً ولم ير الكسوف؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم علق الحكم بالرؤية، فقال عليه الصلاة والسلام : (فإذا رأيتموهما فافزعوا إلى الصلاة) ،ومن الجائز أن الله تعالى يخفي هذا الكسوف عن قوم دون آخرين لحكمة يريدها

Tidak boleh shalat gerhana hanya semata-mata berpegang kepada apa yang tersebar dari berita koran atau apa yang diberitakan oleh para ahli Falak (semacam Badan Meteorologi) ketika langit mendung dan tidak nampak gerhana, karena Nabi shalallahu alaihi wasallam mengaitkan hukum shalat gerhana itu dengan Ru’yah yaitu melihat, Beliau bersabda, “maka apabila kalian melihat keduanya gerhana, segeralah shalat. Bisa saja Allah tidak menampakan gerhana kepada sebagian kaum sebagimana menampakannya kepada kaum yang lain karena sebab hikmah yang dikehendaki-Nya” (Majmu’ Al-Fatawa 16/309)

[6] Waktu Shalat Gerhana dimulai sejak awal gerhana sampai gerhana tersebut selesai, dan bersyarat jika gerhana tersebut terlihat disaksikan oleh mata, bukan semata mata praduga.

[7] Gerhana matahari berakhir waktunya, dengan salah satu dari dua hal berikut : Matahari sudah tersingkap seluruhnya, atau dengan tenggelamnya matahari. Adapun gerhana bulan, waktu berakhirnya dengan salah satu dari dua hal berikut : Bulan sudah tersingkap seluruhnya, atau terbitnya matahari, atau hilangnya (tenggelamnya) bulan.

[8] Tidak perlu mengqadha’ Shalat Gerhana, jika gerhana telah selesai, karena waktunya telah berakhir.

[9] Tempat pelaksanaan Shalat gerhana afdhalnya di masjid namun boleh di rumah. Tetapi yang lebih utama adalah dilakukan di masjid.

Sebagaimana hadits dari ’Aisyah -radhiyallahu anha- , ia berkata;

خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِيْ حَيَاةِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَقَامَ وَكَبَّرَ وَصَفَ النَّاسُ وَرَاءَهُ

”Terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah -shalallahu alihi wasallam- . Beliau pergi ke masjid, lalu berdiri dan bertakbir (untuk shalat), dan orang-orang pun berbaris dibelakang beliau.”

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani -rahimahullah- ;

”Telah shahih bahwa yang disunnahkan dalam Shalat Gerhana ialah dikerjakan di masjid. Seandainya tidak disunnahkan demikian, tentunya shalat di tanah lapang itu lebih baik, karena dapat melihat berakhirnya gerhana. Wallahu a’lam.”

[10] Tata Cara Shalat Gerhana adalah sebagai berikut :

Pertama :

Dilakukan dengan dua raka’at dan pada tiap raka’at terdapat dua kali ruku’ dan dua kali sujud.

Hal ini sebagaimana hadits dari ’Aisyah radhiyallahu anha , ia berkata;

خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِيْ حَيَاةِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَقَامَ وَكَبَّرَ وَصَفَ النَّاسُ وَرَاءَهُ فَاقْتَرَأَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِرَاءَةً طَوِيْلَةً ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكْوْعًا طَوِيْلًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ قَامَ فَاقْتَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيْلَةً هِيَ أَدْنَى مِنَ الْقِرَاءَةِ الْأُوْلَى ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوْعًا طَوِيْلًا هُوَ أَدْنَى مِنَ الرُّكُوْعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الْأُخْرَى مِثْلَ ذَلِكَ

”Terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- . Beliau pergi ke masjid, lalu berdiri dan bertakbir (untuk shalat), dan orang-orang pun berbaris dibelakang beliau. Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- membaca dengan bacaan yang panjang. Lalu bertakbir dan melakukan ruku’ dengan panjang. Kemudian beliau mengangkat kepalanya (i’tidal) sambil mengucapkan, ”Samiallahu liman hamidah, Rabbana walakal hamdu.” Lalu beliau bangkit dan membaca bacaan yang panjang, hampir sepanjang bacaan pertama. Kemudian beliau bertakbir lalu melakukan ruku’ panjang hampir sepanjang ruku’ yang pertama. Lalu beliau mengucapkan, ”Samiallahu liman hamidah, Rabbana walakal hamdu,” kemudian beliau bersujud. Beliau melakukan pada raka’at kedua seperti (pada raka’at pertama) tersebut.” (HR Muslim : 101)

Kedua :

Imam disunnahkan untuk menyampaikan khutbah setelah Shalat Gerhana. Khutbah Shalat gerhana seperti Khutbah ’Ied, dengan satu kali khutbah. Ini adalah pendapat Madzhab Asy-Syafi’i, Ishaq, dan mayoritas ahli hadits. Khutbah dilakukan dalam rangka menasihati dan mengingatkan para jama’ah, juga untuk memotivasi mereka untuk melakukan amal shalih. Karena demikianlah yang dilakukan oleh Nabi -shalallahu alaihi wasallam- .

Sebagaimana hadits dari Aisyah -radhiyallahu anha- , ia berkata;

فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ : إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَإِنَّهُمَا لَا يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُمَا فَكَبِّرُوْا وَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوْا وَتَصَدَّقُوْا يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ إِنَّ مِنْ أَحَدٍ أَغْيَرَ مِنَ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا وَلَضَحِكْتُمْ قَلِيْلًا أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ

”Beliau menyampaikan khutbah kepada manusia dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya. Lalu beliau bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan tanda-tanda (kekuasaan) Allah. Sesungguhnya keduanya tidak mengalami gerhana, karena meninggalnya seseorang atau hidupnya seseorang. Apabila kalian melihat kedua (terjadi gerhana), maka bertakbirlah, berdoalah kepada Allah, (lakukanlah) Shalat (Gerhana), dan bersedekahlah. Wahai umat Muhammad, tidak ada seorang pun yang lebih besar rasa cemburunya daripada (cemburunya) Allah jika hamba-Nya yang laki-laki berzina atau hamba-Nya yang wanita berzina. Wahai umat Muhammad, demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa. Ingatlah, bukankah telah aku sampaikan?” (HR Ahmad : 25213)

[11] Apabila gerhana sudah hilang sementara seorang masih melakukan shalat, maka ia harus menyempurnakannya secara singkat.

[12] Apabila setelah selesai shalat, ternyata gerhana belum juga hilang, maka dianjurkan untuk memberbanyak doa, membaca takbir, dan bersedekah, hingga gerhana selesai.

Hal ini sebagaimana hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari -radhiyallahu anhu- ia berkata, Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda;

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِمَا عِبَادَهُ وَإِنَّهُمَا لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ مِنْ النَّاسِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوْا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يُكْشَفَ مَا بِكُمْ

”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda (kekuasaan) Allah. Allah menggunakan keduanya untuk menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Dan sesungguhnya keduanya tidak mengalami gerhana karena meninggalnya seorang manusia. Jika kalian melihat sesuatu (gerhana) darinya, maka shalatlah dan berdoalah kepada Allah, hingga apa yang ada pada kalian dihilangkan.” (HR Muslim : 2153)

[13] Shalat gerhana boleh dikerjakan di semua waktu hingga pada waktu-waktu yang terlarang shalat. Ini adalah madzhab Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah- .

Syaikh ’Abdul ’Aziz bin ’Abdullah bin Baz -rahimahullah- berkata ;

”Yang benar kedua shalat (yaitu; Shalat Tahiyyatul Masjid dan Shalat Gerhana) itu boleh (dilakukan), bahkan disyari’atkan, karena Shalat Gerhana dan Tahiyatul Masjid termasuk shalat yang mempunyai penyebab, disyariatkan pada waktu-waktu terlarang, setelah shalat Ashar dan setelah Shubuh. Sebagaimana waktu-waktu lainnya.”

[14] Para wanita juga disyari’atkan untuk mengikuti Shalat Gerhana dimasjid, selama tidak dikhawatirkan akan timbul fitnah. Jika dikhawatirkan timbul fitnah, maka hendaknya para wanita shalat di rumah mereka masing-masing.

Imam Bukhari -rahimahullah- dalam Kitab Shahihnya membuat satu bab berjudul;

بَابُ صَلَاةِ النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ فِي الْكُسُوْفِ

“Bab : Shalatnya wanita (berjama’ah) bersama (kaum) laki-laki ketika (terjadi) gerhana.”

[15] Tidak disyariatkan mengumandangkan adzan ataupun iqamat pada shalat gerhana. Tetapi menggunakan panggilan khusus yaitu, ”Ash-Shalatu Jami’ah” (Mari berkumpul untuk shalat).

Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari ’Abdullah bin ’Amru bin Al-’Ash -radhiyallahu anhu- ia berkata;

لَمَّا اِنْكَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُوْدِي بِالصَّلَاةِ جَامِعَةٌ

”Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah a diserukan (kepada kaum muslimin) ”Ash-Shalatu Jami’ah.”

[16] Disunnahkan mengulang-ulang panggilan ”Ash-Shalatu Jami’ah” beberapa kali jika diperlukan.

Syaikh ’Abdul ’Aziz bin ’Abdullah bin Baz -rahimahullah- berkata ;

”Telah tetap dari Nabi shalallahu alaihi wasallam bahwasanya beliau menyuruh untuk memanggil orang untuk Shalat Gerhana dengan ucapan, ”Ash-Shalatu Jami’ah” (mari berkumpul untuk shalat). Dan sunnahnya orang yang memanggil itu mengulang-ulangi ucapan tersebut hingga ia yakin bahwa panggilan tersebut telah didengar oleh orang lain. Dan tidak ada batasan tertentu pada pengulangannya, sepanjang pengetahuan kami.”

[17] Bacaan imam ketika Shalat Gerhana adalah dengan dikeraskan. Hal ini sebagaimana hadits dari ’Aisyah -radhiyallahu anha- ia berkata;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَهَرَ فِيْ صَلَاةِ الْخُسُوْفِ بِقِرَاءَتِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِيْ رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ.

“Bahwa Nabi -shalallahu alaihi wasallam- mengeraskan bacaannya dalam shalat gerhana, beliau shalat empat kali ruku’ dalam dua rakaat dan empat kali sujud.” (HR Bukhari : 1065)

[18] Tata cara Shalat Gerhana bulan sama seperti Shalat Gerhana matahari. Karena Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- menyamakan antara gerhana matahari dan gerhana bulan.

Sebagaiamana hadits yang diriwayatkan dari Aisyah -radhiyallahu anha- ia berkata Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda ;

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ, فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوْا اللَّهَ وَكَبِّرُوْا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوْا

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda (kekuasaan) Allah. Keduanya tidak terjadi gerhana karena meninggal dan hidupnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah.” (HR Bukhari : 1044)

Ibnul Mundzir -rahimahullah- berkata, ”Tata cara gerhana bulan tidaklah jauh berbeda dengan shalat gerhana matahari.”

[19] Batasan mendapatkan satu raka’at dalam Shalat Gerhana (bagi makmum masbuq) ada khilaf dikalangan para ulama namun pendapat yang kuat adalah ruku’ yang pertama pada tiap-tiap raka’at. Jika seorang yang mendapatkan ruku’ kedua pada raka’at pertama, berarti ia tidak dianggap mendapatkan satu raka’at. Sehingga apabila imam telah mengucapkan salam diharuskan baginya untuk menambah satu raka’at dengan dua ruku’.

Pendapat inilah yang di kuatkan oleh Lajnah Daaimah dewan fatwa Ulama Saudi Arabiya ketika ditanya tentang masalah ini mereka menjawab ;

الصحيح أن من فاته الركوع الأول من صلاة الكسوف لايعتد بهذه الركعة، وعليه أن يقضي مكانها ركعة أخرى بركوعين؛ لأن صلاة الكسوف عبادة، والعبادات توقيفية، فيقتصر فيها على ما ثبت من كيفيتها في الأحاديث الصحيحة.

“yang benar adalah bahwasanya orang yang terluput ruku’ pertama dari shalat gerhana tidaklah dihitung mendapat satu rakaat shalat, maka baginya wajib untuk menggantinya satu rakaat lagi dengan dua ruku’ karena shalat gerhana adalah bentuk ibadah sementara ibadah sifatnya Tauqifiyah (berdasarkan dalil) maka hendaknya ia melakukan sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh hadits-hadits yang shahih” ( Fatwa Lajnah Ad-daaimah 8/323)

Demikian juga syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullah- mengatakan :

هل تدرك الركعة بالركوع الثاني؟ الجواب: لاتدرك به الركعة، وإنما تدرك الركعة بالركوع الأول، فعلى هذا لو دخل مسبوق مع الإِمام بعد أن رفع رأسه من الركوع الأول فإن هذه الركعة تعتبر قد فاتته فيقضيها.

“Apakah dianggap mendapatkan satu roka’at bagi yang mendapati ruku’ ke dua ? Jawabnya adalah tidak mendapatkannya, akan tetapi yang dianggap mendapatkan satu roka’at itu apabila mendapatkan ruku’ pertama Imam oleh karena ini apabila makmum masuk shalat setelah Imam mengangkat kepalanya dari ruku’ yang pertama, maka sesungguhnya raka’at yang ini dianggap luput sehingga ia harus menyempurnakan yang terluput tadi” ( syarah Al-Mumti’ 5/260).

[20] Berdasarkan hadits hadits tentang gerhana, dapat disimpulkan ada tujuh perkara sebagai tuntunan Islam ketika terjadi gerhana diantaranya : Shalat gerhana, berdoa khususnya berlindung dari adzab kubur, beristighfar, bertakbir, berdzikir, bershadaqah, memerdekakan budak. (HR. Bukhari no. 1040, 1044, 1059, 2519, dan Muslim no. 901, 912, 914). Demikian semoga bermanfaat. Wallahu a’lam

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *