Penulis :
Abu Ghozie As Sundawie
____
Darah yang keluar dari kemaluan wanita dibagi menjadi 3 (tiga), antara lain :
1️⃣ DARAH HAIDH :
Darah haidh adalah darah yang memiliki ciri-ciri khusus dan keluar dari seorang wanita dari tempat khusus (kemaluan) pada waktu yang diketahui.
Tidak ada batasan waktu minimal dan maksimalnya, tetapi biasanya selama 6 (enam) atau 7 (tujuh) hari dalam sebulan.
Adapun ciri-ciri darah haidh adalah :
• Berwarna hitam
• Kental
• Berbau tidak sedap dan tidak membeku setelah keluar.
Datangnya darah haidh bisa diketahui dengan keluarnya darah pada waktu yang memungkinkan terjadi haidh.
Sedangkan berhentinya darah haidh dapat diketahui dengan berhentinya darah dan keluarnya cairan berwarna kuning dan berwarna keruh (kotor kehitam-hitaman).
Ini bisa diketahui dengan salah satu dari dua hal berikut :
a. Kering
Yaitu dengan meletakkan kain pada kemaluan, lalu terlihat bahwa kain tersebut kering (tidak ada darah haidhnya).
b. Cairan Putih (Al-Qashshatul Baidha’)
Yaitu cairan berwarna putih yang keluar dari rahim saat darah haidh berhenti.
Hal ini sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata;
كَانَ النِّسَاءُ يَبْعَثْنَ إِلَى عَائِشَةَ بِالدَّرَجَةِ فِيْهَا الْكُرْسَفُ فِيْهِ الصُّفْرَةُ مِنْ دَمِ الْحَيْضِ فَتَقُوْلُ لَا تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ الْقَصَّةَ الْبَيْضَاءَ تُرِيْدُ بِذَلِكَ أَيْ الطُّهْرَ مِنَ الْحَيْضَةِ.
“Para wanita mengutus seorang kepada Ummul Mu’minin ‘Aisyah dengan membawa kain yang berisikan kapas yang terdapat cairan berwarna kekuningan dari darah haidh.
Maka ‘Aisyah berkata;
“Janganlah terburu-buru hingga kalian melihat cairan putih.”
Yang dimaksud adalah suci dari haidh.” [1]
➡ CATATAN :
[1] Apabila setelah suci keluar cairan berwarna kuning dan agak keruh (tampak kuning bagaikan nanah), maka cairan tersebut bukanlah haidh.
Artinya :
Ia dalam tetap keadaan suci
Sehingga saat itu ia wajib melakukan shalat, puasa, dan boleh digauli oleh suaminya.
Hal ini berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyyah, ia berkata;
كُنَّا لَا نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا.
“Kami tidak memperhitungkan sama sekali cairan yang berwarna kuning atau keruh setelah suci.” [2]
[2] Apabila seorang wanita telah suci, akan tetapi ia tidak mendapatkan air, maka ia boleh bertayamum.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama’.
[3] Seorang wanita diperbolehkan mengkonsumsi obat penunda haidh sepanjang tidak berbahaya, sehingga ia tetap suci dan dapat melaksanakan puasa, shalat, atau melengkapi manasik hajinya.
Ini adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri .
[4] Apabila seorang wanita yang haidh mengalami junub, maka cukup baginya sekali mandi ketika suci dari haidhnya.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama’ (madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali).
Ini juga pendapat Rabi’ah, Abu Az-Zunad, Ishaq, Sufyan Ats-Tsauri, dan Al-Auza’i .
Namun jika wanita tersebut ingin membaca Al-Qur’an, masuk ke masjid, dan semisalnya, maka ia wajib mandi.
2️⃣ DARAH NIFAS :
Darah nifas adalah darah yang keluar karena melahirkan, baik itu yang terjadi; sebelum, pada saat, atau, setelah melahirkan.
Tidak ada batas minimalnya, sedangkan batasan maksimalnya adalah 40 (empat puluh) hari.
Sebagaimana hadits dari Ummu Salamah, ia berkata;
كَانَتِ النُّفَساءُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقْعُدُ بَعْدَ نِفَاسِهَا أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا، أَوْ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً.
“(Wanita-wanita) yang sedang nifas pada zaman Rasulullah Shallallahu alahi wasallam duduk (menunggu) setelah kelahirannya selama 40 hari atau 40 malam.” [3]
➡️ CATATAN :
[1] Apabila seorang wanita melihat darah sehari atau 2(dua) hari sebelum melahirkan yang disertai rasa sakit, maka itu adalah darah nifas.
Ia harus meninggalkan shalat dan puasa karenanya.
Dan jika tidak disertai rasa sakit, maka itu adalah darah biasa.
Ia tidak boleh meninggalkan puasa dan shalat karenanya.
Ini adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin .
[2] Apabila darah nifas berubah menjadi cairan kuning sebelum jelas tanda kesucian, maka cairan tersebut dihukumi sebagai nifas.
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin ;
“Cairan kuning atau cairan yang seperti lendir selama belum tampak padanya kesucian yang jelas, maka hukumnya mengikuti hukum darah (nifas), tidak dihukumi suci kecuali sudah benar-benar bersih dari cairan tersebut.”
[3] Apabila seorang wanita mengalami nifas di bulan Ramadhan.
kemudian darah nifasnya berhenti sebelum 40 (empat puluh) hari, lalu keluar lagi sebelum 40(empat puluh) hari, maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa sampai 40(empat puluh) hari.
Adapun puasa yang dilakukan ketika darah berhenti adalah sah.
Berkata Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan :
“Kalau darah itu berhenti sebelum 40 (empat puluh) hari, maka dia mandi dan berpuasa. Jika darah itu keluar lagi sebelum 40 (empat puluh) hari, maka dia meninggalkan puasa ketika itu sampai 40 (empat puluh) hari.
Sedangkan puasanya pada hari-hari ketika darah berhenti adalah puasa yang benar (sah), karena dilakukan dalam keadaan suci.
Ini adalah pendapat yang benar dari dua pendapat ulama’ (dalam) masalah ini.
Wallahu a’lam.” (red)
[4] Apabila setelah 40 (empat puluh) hari darah masih terus mengalir, maka ada 2 (dua) kemungkinan, antara lain :
● Pertama :
Apabila berhentinya masa nifas bertepatan dengan kebiasaan masa haidh, maka darah yang keluar setelah 40 (empat puluh) adalah darah haidh.
● Kedua :
Apabila berhentinya masa nifas tidak bertepatan dengan kabiasaan masa haidh.
Maka bagi wanita tersebut wajib mandi setelah sempurna 40 (empat puluh) hari untuk melaksanakan shalat dan puasa.
Ini adalah perincian dari Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh .
[5] Apabila seorang wanita mengalami keguguran sebelum usia kehamilannya 80(delapan puluh) hari, maka darah yang keluar bukanlah darah nifas.
Adapun jika keguguran tersebut terjadi setelah 80(delapan puluh) hari kehamilan, maka darah yang keluar dihukumi sebagai darah nifas.
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin ;
“Para ulama mengatakan bahwa syarat diberlakukannya hukum nifas:
-》 Yaitu jika janin yang dilahirkan sudah berbentuk manusia dengan telah terbentuknya organ-organ tubuh dan telah memiliki bentuk kepala, kaki dan tangan (telah berusia 80 hari).
-》 Jika seorang wanita mengeluarkan janin sebelum memiliki bentuk manusia, maka darah yang dikeluarkan oleh wanita yang melahirkan janin tersebut bukan darah nifas.”
[6] Wanita yang sedang nifas hukumnya sama dengan wanita haidh.
Karena Rasulullah shalallahu alaihi wasallam juga menyamakan antara haidh dengan nifas.
Sebagaimana Diriwayatkan dari Ummu Salamah ;
بَيْنَا أَنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُضْطَجِعَةٌ فِيْ خَمِيْصَةٍ إِذْ حِضْتُ فَانْسَلَلْتُ فَأَخَذْتُ ثِيَابَ حَيْضَتِيْ قَالَ أَنُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ
“Ketika aku bersama Nabi shalallahu alaihi wasallam tidur di dalam sebuah selimut tebal tiba-tiba aku haidh, lalu aku keluar dengan perlahan, kemudian aku mengambil pakaian (yang biasa aku pakai ketika) haidh.
Beliau bersabda:
“Apakah engkau sedang nifas (haidh)?”
Aku menjawab, “Ya.” [4]
♡ Perbedaannya hanya pada masalah ‘iddah.
Bahwa ‘iddah tidak memperhitungkan adanya nifas.
Karena masa ‘iddah bagi wanita yang hamil adalah sampai melahirkan.
Sebagaimana firman Allah ;
وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
”Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ’iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” [5]
3️⃣ DARAH ISTIHADHAH :
Darah istihadhah adalah darah yang keluar bukan pada waktu sedang haidh atau nifas, atau bersambung dengan keduanya (tetapi bukan termasuk keduanya).
Darah istihadhah hanyalah penyakit karena terputusnya pembuluh darah.
Darah itu tidak akan berhenti, kecuali jika sembuh.
Adapun ciri-ciri darah istihadhah adalah :
• Berwarna merah
• Encer
• Tidak berbau busuk tapi bau amis darah, Membeku setelah keluar
➡ CATATAN :
[1] Wanita yang mengalami istihadhah dianggap dalam keadaan suci, sehingga diperbolehkan melakukan shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya.
Ini adalah kesepakatan para ulama’.
’Aisyah meriwayatkan bahwa Fatimah binti Abi Jahsy pernah bertanya kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam,
”Sesungguhnya aku mengalami istihadhah sehingga aku tidak suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat?”
Beliau bersabda:
لَا إِنَّ ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَكِنْ دَعِيَ الصَّلَاةَ قَدْرَ الْأَيَّامِ الَّتِيْ كُنْتِ تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَصَلِّي
”Tidak, sesungguhnya itu adalah darah urat. Tetapi tinggalkanlah shalat selama beberapa hari yang biasa engkau dahulu mengalami haidh. Kemudian mandilah dan shalatlah.” [6]
[2] Seorang wanita yang istihadhah jika akan shalat, maka harus membasuh kemaluannya dengan air dan menggunakan pembalut.
Sebagaimana riwayat dari Ummu Salamah (isteri Nabi shalallahu alaihi wasallam);
أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَهْرَاقُ الدِّمَاءِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَفَتَّتْ لَهَا أُمُّ سَلَمَةَ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : لِتَنْظُرْ عُدَّةُ اللَّيَالِيْ وَالْأَيَّامِ الَّتِيْ كَانَتْ تَحِيْضُهُنَّ مِنَ الشَّهْرِ قَبْلَ أَنْ يُصِيْبَهَا الَّذِيْ أَصَابَهَا، فَلْتَتْرُكُ الصَّلَاةَ قَدْرَ ذَلِكَ مِنَ الشَّهْرِ، فَإِذَا خَلَفَتْ ذَلِكَ فَلْتَغْتَسِلُ ثُمَّ لِتَسْتَثْفِرْ بِثَوْبٍ ثُمَّ لِتُصَلِّ فِيْهِ.
“Sesungguhnya pada zaman Nabi shalallahu alaihi wasallam ada seorang wanita yang mengeluarkan banyak darah (istihadhah).
Maka Ummu Salamah menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.
Lalu beliau bersabda:
“Perhatikanlah hari-hari yang ia biasa mengalami haidh dalam setiap bulan, sebelum ia mengalami kejadian terebut. Hendaklah ia meninggalkan shalat sebanyak hari-hari (yang ia biasa haidh) pada setiap bulan. Jika telah selesai, maka hendaklah ia mandi, kemudian hendaklah ia balut dengan kain, lalu melaksanakan shalat.”[7]
•》 Ia juga harus berwudhu setiap kali shalat.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam kepada Fathimah binti Abu Hubaisy (yang sedang istihadhah);
تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ
“Berwudhulah pada setiap kali akan shalat.” [8]
[3] Seorang wanita yang mengalami istihadhah dipebolehkan mengakhirkan shalat yang pertama dan mengawalkan shalat yang kedua.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Hamnah binti Jahsy ;
فَإِنْ قَوَيْتِ عَلَى أَنْ تُؤَخِّرِي الظُّهْرَ وَتُعَجِّلِي الْعَصْرَ ثُمَّ تَغْتَسِلِي حِيْنَ تَطْهُرِيْنَ وَتُصَلِّيْنَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرِ جَمِيْعًا ثُمَّ تُؤَخِّرِيْنَ الْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِيْنَ الْعِشَاءِ ثُمَّ تَغْتَسِلِيْنَ وَتَجْمَعِيْنَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فَافْعَلِي. وَتَغْتَسِلِيْنَ مَعَ الصُّبْحِ وَتُصَلِّيْنَ.
“Apabila engkau mampu untuk mengakhirkan shalat dhuhur dan mengawalkan shalat Ashar, (maka kerjakanlah).
Kemudian engkau mandi, ketika suci dan engkau shalat Zhuhur dan Ashar dengan jama’.
Kemudian engkau mengakhirkan shalat maghrib dan mengawalkan shalat Isya’. Lalu engkau mandi dan menggabungkan antara 2(dua) shalat.
Dan mandilah pada waktu Shubuh dan shalatlah.”[9]
[4] Seorang wanita yang istihadhah diperbolehkan untuk melakukan i’tikaf di dalam masjid.
Sebagaimana hadits dari ‘Aisyah, beliau berkata;
اِعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِمْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ فَكَانَتْ تَرَى الدَّمَ وَالصُّفْرَةَ وَالطَّسْتُ تَحْتَهَا وَهِيَ تُصَلِّي.
“Salah seorang dari isteri Rasulullah shalallahu alaihi wasallam (yang mengalami istihadhah) pernah beri’tikaf bersama beliau, kamudian ia melihat darah dan cairan kekuning-kuningan sedangkan dibawahnya ada sebuah bejana dan ia sedang melakukan shalat.”[10]
[5] Seorang wanita yang mengalami istihadhah harus mandi sekali, pada saat ia bersih dari haidhnya.
Ini adalah pendapat ’Urwah bin Zubair, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Tsaur, dan madzhab Syafi’iyah.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam kepada Ummu Habibah binti Jahsy (yang sedang istihadhah);
اُمْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي
“Tahanlah dirimu (untuk melakukan shalat) selama engkau masih haidh, kemudian mandi dan lakukanlah shalat.”[11]
[6] Seorang yang istihadhah boleh digauli oleh suaminya, walaupun darahnya mengalir, selama tidak dalam masa haidh.
Dan inilah pendapat jumhur ulama’, diantaranya;
Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, Ahluzh-Zhahir, Ahmad, Hasan, Atha’, Sa’id bin Jubair, Qatadah, Hammad bin Abu Sulaiman, Bakar bin ‘Abdullah Al-Muzani, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir .
Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Ikrimah:
عَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ أَنَّهَا كَانَتْ مَسْتَحَاضَةٌ، وَكَانَ زَوْجُهَا يُجَامِعُهَا.
“Dari Hamnah binti Jahsy, ia pernah mengalami istihadhah dan suaminya (tetap) mengaulinya.”[12]
Demikian semoga bermanfaat.
_____
Referensi :
[1] HR. Baihaqi 1486 hadits ini di shahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil 198
[2] HR Abu Dawud 307 lafadz ini miliknya Ibnu Majah 647 hadits ini di nilai shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil 199.
[3] HR. Abu Dawud 311 lafadz ini miliknya Tirmidzi 139, Ibnu Majah 648, hadits ini di nilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil 211.
[4] HR. Bukhari 294 lafadz ini miliknya dan Muslim 296
[5] QS Ath Thalaq : 4
[6] Muttafaq’alaih : HR Bukhari 319 lafadz ini miliknya dan Muslim 333
[7] HR. Abu Dawud 274
[8] HR. Ibnu Majah 624
[9] HR. Tirmidzi 128, Abu Dawud 287
[10] HR. Bukhari 304 dan Abu Dawud 2476
[11] HR. Muslim 334
[12] HR. Abu Dawud 310
___
Abu Ghozie Official*
www.abughozie.com