MENGAMBIL SIKAP DALAM MEMPOPULERKAN KISAH GHARANIQ

Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie

PERTANYAAN :

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Izin bertanya Ustadz,
Di kajian Syarah Silsilah Rasail, pada poin ketiga Sittah Mawadhi’ adalah Peristiwa Gharaniq. Di kitab tertulis ada perselisihan pendapat ke-shahihan kisah tersebut. Saya juga baru pertama kali dengar Peristiwa Gharaniq. Karena tidak populer dalam Sirah Nabawi.

Apakah boleh saya menyampaikan atau menceritakan kisah ini kepada anak atau keluarga saya? Saya khawatir kalau kisah ini dhaif, takut salah bicara tentang Rasulullah.
Syukron Ustadz atas jawabannya. Jazaakumullahu khairan.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Dari : Hamba Allah

 

JAWABAN :

Bismillah.
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

الـحَمْدُ للهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهَ ، أَمَّا بَعْدُ

Gharaniq, artinya ada yang mengatakan burung putih yang panjang lehernya, dan istilah gharaniq ini di gunakan untuk istilah nama berhala di zaman jahiliyyah.

Kisah Gharaniq adalah sebuah kisah yang menceritakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memuji berhala-berhala Quraisy.

Kisah Gharaniq terkait dengan QS. Al-Hajj ayat 52 :

ومآ أرسلنا من قبلك من رسول ولا نبي إلآ إذا تمنى ألقى الشيطان في أمنيته فينسخ الله ما يلقي الشيطان ثم يحكم الله ءاياته والله عليم حكيم

”Dan Kami tidak mengutus sebelummu seorang Rasul pun dan tidak pula seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, syaithan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah menghilangkan apa yang dimasukkan syaithan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Sebagian ulama tafsir berkata tentang asbabun-nuzul ayat tersebut bahwa ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengalami masa-masa berat, yaitu ketika ditinggal oleh kaumnya. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berharap tidak akan ada adzab yang diturunkan Allah Ta’ala kepada mereka.

Sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebenarnya masih berharap suatu saat mereka akan menjadi orang-orang yang beriman. Pada suatu saat beliau sedang duduk di salah satu tempat pertemuan orang-orang Quraisy, tiba-tiba Allah menurunkan ayat :

وَالنّجْمِ إِذَا هَوَىَ

”Demi bintang yang terbenam” (QS. An-Najm : 1)

Beliau terus saja membaca ayat tersebut sampai dengan firman Allah Ta’ala :

أَفَرَأَيْتُمُ اللاّتَ وَالْعُزّىَ * وَمَنَاةَ الثّالِثَةَ الاُخْرَىَ

”Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-‘Uzza dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah) ?” (QS. An-Najm : 19-20)

Dan ketika sampai pada ayat di atas, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tanpa sadar lisannya membaca kalimat yang dituntun oleh syaithan sebagai berikut :

تلك الغرانيق العلى ، وإن شفاعتهن لترجى

”Itulah tiga berhala (gharaaniq) pertama. Sesungguhnya syafa’at ketiganya sangat dinantikan”.

Ketika kaum Quraisy mendengar perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tersebut, mereka langsung bersuka cita. Sedangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meneruskan bacaan Al-Qur’annya sampai dengan akhir surat. Ketika beliau sujud di akhir ayat surah tersebut, semua orang yang hadir di tempat itu, baik muslim maupun musyrik, ikut bersujud. Orang-orang Quraisy pun bubar dengan keadaan senang atas kejadian tersebut. Mereka berkata,”Muhammad telah menyebutkan tuhan-tuhan kita dengan sebutan yang baik”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh Malaikat Jibril yang berkata : “Apa yang telah engkau perbuat? Mengapa kamu membacakan kepada manusia sesuatu yang tidak aku bacakan kepadamu (dan juga) bukan berasal dari Allah?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pun merasa bersedih dan sangat takut. Maka Allah pun menurunkan ayat tersebut di atas (QS. Al-Hajj : 52) (Fathul-Bayaan fii Maqaashidil-Qur’an IV/244-245)

Riwayat-riwayat tentang kisah Gharaniq tersebut dinukil dalam beberapa sanad. Namun semua jalur sanad-sanadnya tidak terlepas dari kritikan akan kelemahannya.

Shiddiq Hasan Khan rahimahullah telah berkata ketika mengomentari kisah Gharaniq tersebut di atas: “Para ulama telah berkata bahwa riwayat (tentang kisah Gharaniq) sama sekali tidak benar. Bahkan berita itu bukan hanya sekedar tidak benar, namun juga merupakan berita bathil. Beberapa orang ulama telah membantah kisah tersebut dengan dalil-dalil ayat-ayat suci Al-Qur’an, dimana Allah ta’ala telah berfirman :

وَلَوْ تَقَوّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الأقَاوِيلِ * لأخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ * ثُمّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ

”Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya” (QS. Al-Haaqqah : 44-46)

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىَ

”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya” (QS. An-Najm : 3)

وَلَوْلاَ أَن ثَبّتْنَاكَ لَقَدْ كِدتّ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئاً قَلِيلاً

”Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka” (QS. Al-Israa’ : 74)

Di dalam ayat di atas disebutkan bahwa Allah menghindarkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dari perasaan condong kepada orang-orang kafir. Apalagi sampai membiarkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam benar-benar condong kepada mereka.

Al-Bazzar berkata,”Aku tidak pernah menjumpai hadits ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan sanad yang tersambung”.

Al-Baihaqi berkata,”Kisah Gharaniq ini sama sekali tidak masuk akal ditinjau dari sudut pandang naql. Sebab para perawi hadits tersebut adalah orang-orang yang banyak dikritik dan tidak dapat dipercaya”.

Imam Ibnu Khuzaimah berkata,”Sesungguhnya kisah Gharaniq ini termasuk kebohongan yang diciptakan oleh orang-orang zindiq”.

Al-Qadli ‘Iyadl berkata dalam kitabnya Asy-Syifaa,”Sesungguhnya umat ini telah bersepakat bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah seorang yang ma’shum (terjaga) dari mengucapkan khabar yang bertentangan dengan keyakinan beliau, baik yang terucapkan secara sengaja, alpa, atau karena kesalahan ucap”.

Ar-Razi berkata,”Kisah Gharaniq itu adalah bathil dan maudlu’ (palsu). Oleh karena itu tidak boleh disampaikan kepada khalayak”

Allah ta’ala berfirman :

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىَ * إِنْ هُوَ إِلاّ وَحْيٌ يُوحَى

”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An-Najm : 3-4)

سَنُقْرِئُكَ فَلاَ تَنسَىَ

”Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa” (QS. Al-A’la : 6)

Tidak perlu diragukan lagi bahwa orang yang berpendapat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memperbolehkan mengagung-agungkan berhala adalah orang yang telah kufur. Karena sudah sangat maklum bahwa di antara misi beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam yang terbesar adalah memeberantas berhala di muka bumi. Jika seandainya kita memungkinkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bisa salah seperti dalam kisah Gharaniq tersebut, maka artinya syari’at Islam tidak aman dari unsur kealpaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dengan kata lain, kita juga memiliki anggapan bahwa setiap aturan syari’at dimungkinkan juga mengalami kesalahan sebagaimana yang terjadi pada kisah Gharaniq. Yaitu syaithan telah berhasil menunggangi lisan beliau ketika berbicara.

Berarti keyakinan seperti ini sama saja telah membatalkan firman Allah Ta’ala :

يَـَأَيّهَا الرّسُولُ بَلّغْ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رّبّكَ وَإِن لّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلّغْتَ رِسَالَتَهُ

”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya” (QS. Al-Maaidah : 67)

Dengan demikian secara rasional tidak ada bedanya antara pengurangan dan penambahan wahyu”. [Fathul-Bayaan VI/246, Tafsir Ar-Razi XII/15, dan Tafsir Ibnu Katsir III/229]

Shiddiq Hasan Khan melanjutkan komentarnya sebagai berikut : “Inilah argumentasi global untuk sanggahan kisah Gharaniq baik secara naqli maupun aqli. Bagaimanapun juga kisah itu merupakan sebuah berita bohong. Dalam masalah ini banyak sekali riwayat yang kesemuanya lebih baik untuk tidak diungkap. Hendaklah seseorang memperhatikan riwayat-riwayat itu di dalam Tafsir Ad-Durrul-Mantsur karya As-Suyuthi. Kami tidak ingin berpanjang lebar membicarakan masalah ini. Hal paling penting yang kami sampaikan adalah bahwa kesemua riwayat tersebut tidak bisa dijadikan hujjah. Sebab masing-masing berita itu tidak ada yang diriwayatkan oleh seorang perawi hadits yang shahih. Bahkan tidak ada seorang perawi tsiqah pun yang menyandarkan sanad shahih dan muttashil (bersambung) pada riwayat-riwayat tersebut. Kisah-kisah itu hanya diriwayatkan oleh para mufassir dan sejarawan yang sangat tertarik dengan hal-hal yang asing. Mereka ini juga menerima segala berita baik yang shahih maupun bathil. Sebenarnya kelemahan cerita ini sudah bisa dilihat dari kandungannya yang rancu, mata sanadnya yang terputus dan perbedaan beberapa lafadhnya”.

Ada sebagian ulama yang mensahkan kisah tersebut, diantaranya adalah Ibnu Hajar dalam kitabnya yang masyhur Fathul-Baari. Beliau berpendapat bahwasannya hadits tersebut kuat dengan banyak jalan, walaupun sanadnya mursal. Namun penilaian Ibnu Hajar ini telah dibantah oleh para ulama ahli hadits yang lain.

Dan yang paling akhir dari deretan ulama ahli hadits tersebut adalah Al-Muhaddits Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.

Syaikh Al-Albani melemahkan kisah hadits tersebut dalam kitabnya yang secara khusus membahas kisah Gharaniq : Nashbul-Majaaniq linisfi Qishshatil-Gharaaniq.

Bahkan beliau mengomentari kisah tersebut dengan perkataan :

لا يصح ، بل هو باطل موضوع

Tidak shahih, bahkan kisah tersebut merupakan kisah bathil lagi maudlu’ (palsu) (Muqaddimah Kitab Nashbul-Majaaniq halaman 1).

Kisah Gharaniq tersebut diriwayatkan secara mursal lagi banyak kedha’ifan serta penyakit pada jalan-jalannya. Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i – ahli ahdits dari Yaman – juga tidak memasukkannya dalam Shahihul-Musnad min-Asbaabin-Nuzul.

Dari penjelasan diatas , Maka tidak perlu untuk di kisahkan kecuali dengan di jelaskan penjelasan para ulama terkait riwayat-riwayat tersebut

Demikian, semoga bisa dipahami.

_____________________________

Sumber :

Disalin dari Al Ustadz Abul Jauza hafidzahullah.

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *