Oleh : Ustadz Abu Ghozie As-Sundawie
Diriwayatkan dalam sebuah kisah, saat al-Ghumaisa menjanda tersebar di seantero Madinah, banyak lelaki yang ingin memperistrinya, andai saja mereka tidak khawatir ditolak mentah-mentah karena memiliki perbedaan keyakinan.
Namun Zaid bin Sahl, yang dipanggil dengan kuniah Abu Thalhah, adalah yg paling berobsesi untuk merebut hatinya karena diantara keduanya masih memiliki ikatan kekerabatan, keduanya masih sama-sama berasal dari Bani Najjar.
Abu Thalhah berkunjung ke kediaman al-Ghumaisha lalu memanggil dengan kuniahnya seraya mengatakan, “Wahai Ummu Sulaim! Aku datang untuk meminangmu, semoga aku tidak ditolak mentah-mentah.”
Ummu Sulaim menjawab, “Demi Allah, wahai Abu Thalhah! Lelaki sepertimu tentu tidak ditolak. Hanya saja kau lelaki kafir sementara aku wanita muslimah. Aku tidak bisa menikah denganmu. Kalau kau masuk islam, biarkan itu menjadi maharku. Aku tidak menginginkan mahar lain selain keislamanmu.”
“Berikan aku waktu untuk memikirkan urusan ini.” Kata Abu Thalhah, yang setelah itu pergi berlalu.
Keesokan harinya, Abu Thalhah kembali menemui Ummu Sulaim dan mengucapkan, “Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Mendengar kata-kata itu, Ummu Sulaim mengatakan, “kau sudah masuk islam. Aku menerimamu sebagai suami.”
Karena kejadian ini, orang-orang mengatakan, “kami tidak pernah mendengar mahar seorang wanita yang lebih mulia dari mahar Ummu Sulaim, karena maharnya adalah Islam.” (Mereka adalah shahabiyah , Dr. Abdurrahman Ra’fat)