LARANGAN BERPUASA PADA PERTENGAHAN BULAN SYA’BAN

Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi k bersabda :

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلا تَصُومُوا

“Apabila sudah masuk Nisfu Sya’ban maka janganlah kalian berpuasa” ([1])
Hadits ini menunjukan larangan memulai berpuasa mutlak pada tanggal 16 bulan Sya’ban, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Munawi rahimahullah :

(فَلاَ تَصُوْمُوْا) أَيْ يُحْرَمُ عَلَيْكُمْ ابْتَدَاءُ الصَّوْمِ بِلَا سَبَبٍ حَتَّى يَكُوْنَ رَمَضَان

“Maka janganlah kalian berpuasa, maksudnya haram bagi kalian untuk memulai puasa tanpa sebab, sampai masuk bulan Ramadhan” ([2])
Namun tentang derajat keabsahan hadits inipun diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian Ulama seperti Imam Ibnu Qoyyim dan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini namun Mayoritas dari mereka melemahkannya, sebagaimana di ungkapkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar :

وَقَالَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ يَجُوزُ الصَّوْمُ تَطَوُّعًا بَعْدَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَضَعَّفُوا الْحَدِيثَ الْوَارِدَ فِيهِ, وَقَالَ أَحْمَدُ وَابْنُ مَعِينٍ إِنَّهُ مُنْكَرٌ

“Mayoritas para Ulama mengatakan, boleh berpuasa sunnah setelah lewat nishfu sya’ban karena para ulama melemahkan hadits yang datang tentang larangannya. Ahmad dan Ibnu Ma’in mengatakan haditsnya Munkar” ([3])

Bagi mereka yang menshahihkan hadits diatas, maka maksud larangan berpuasa disini adalah bagi yang mengawali berpuasa mutlak setelah masuk pertengahan Sya’ban, Larangan ini dikecualikan dari :

[a] Orang yang memiliki kebiasaan berpuasa
Seperti seseorang yang terbiasa puasa Senin Kamis, maka dia (dibolehkan) berpuasa meskipun setelah pertengahan Sya’ban.
Dalil akan hal ini adalah sabda Nabi k :

لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلا يَوْمَيْنِ إِلا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari dan dua hari kecuali bagi seseorang yang terbiasa berpuasa, maka (tidak mengapa) dia berpuasa.” ([4])

[b] Orang yang sudah mulai berpuasa sebelum pertengahan Sya’ban
Lalu dia ingin melanjutkan puasa sebelumnya hingga setelah pertengahan (Sya’ban). Kondisi ini juga termasuk yang tidak dilarang.
Dalil akan hal ini adalah ungkapan Aisyah radhiallahu anha :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ ، يَصُومُ شَعْبَانَ إِلا قَلِيلا

“Rasulullah k berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya, beliau berpuasa bulan Sya’ban kecuali sedikit saja.” ([5])

An-Nawawi p berkata:

قَوْلهَا : كَانَ يَصُوم شَعْبَان كُلّه , كَانَ يَصُومُهُ إِلا قَلِيلا الثَّانِي تَفْسِيرٌ لِلأَوَّلِ, وَبَيَان أَنَّ قَوْلهَا “كُلّه” أَيْ غَالِبُهُ

“Ungkapan;“Rasulullah k sering berpuasa pada bulan Sya’ban, beliau berpuasa bulan Sya’ban kecuali sedikit saja.” Kalimat kedua menjelaskan kalimat pertama. Kata ‘kullahu’ (seluruhnya), maksudnya adalah ‘sebagian besarnya”.
Hadits ini menunjukkan dibolehkannya berpuasa setelah pertengahan Sya’bah, akan tetapi bagi yang meneruskan puasa sejak sebelum pertengahan (Sya’ban).

[c] Dikecualikan dari larangan ini juga orang yang mengqadha puasa Ramadhan.
An-Nawawi rahimahullah berkata :

قَالَ أَصْحَابُنَا لا يَصِحُّ صَوْمُ يَوْمِ الشَّكِّ عَنْ رَمَضَانَ بِلا خِلافٍ فَإِنْ صَامَهُ عَنْ قَضَاءٍ أَوْ نَذْرٍ أَوْ كَفَّارَةٍ أَجْزَأَهُ ، لأَنَّهُ إذَا جَازَ أَنْ يَصُومَ فِيهِ تَطَوُّعًا لَهُ سَبَبٌ فَالْفَرْضُ أَوْلَى وَلأَنَّهُ إذَا كَانَ عَلَيْهِ قَضَاءُ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ, فَقَدْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ لأَنَّ وَقْتَ قَضَائِهِ قَدْ ضَاقَ

Para ulama madzhab kami mengatakan, tidak sah berpuasa pada hari syak (ragu-ragu) menjelang Ramadhan tanpa ada perbedaan pendapat. Maka, kalau dia berpuasa untuk qadha, nazar atau kaffarat (tebusan) maka puasanya sah. Sebab kalau dibolehkan berpuasa sunnah karena suatu sebab, maka (puasa) wajib lebih utama. Karena kalau dia mempunyai tanggungan qadha sehari saja dari Ramadhan, maka hal itu merupakan suatu keharusan baginya, karena waktu qadhanya sudah sempit.” ([6])

————
[1] (HR Muslim : 204).
[2] (Faidhul Qadir, 1/304).
[3] (Fathul bari, Ibnu Hajar 4/129)
[4] (HR. Bukhari, no. 1914, dan Muslim, 1082)
[5] (HR. Bukhari, no. 1970, Muslim, no. 1156. Redaksi hadits dari Muslim)
[6] (Al-Majmu, 6/399)

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *