KISAH ‘UKASYAH KETIKA MENJELANG WAFATNYA RASULULLAH shalallahu ‘alaihi wasallam ADALAH PALSU

PERTANYAAN :

Kisah Ukasyah dibawah ini apakah benar ?

ABDULLAH bin Abbas berkata : “Menjelang wafatnya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan. Para sahabat datang berduyun-duyun ke Masjid Nabawi memenuhi seruan azan itu, meskipun waktu solat belum tiba.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam masjid dan melakukan solat sunat dua rakaat. Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam naik ke atas mimbar dan memulai khutbahnya yang panjang. Beliu ucapkan puji-pujian kepada Allah Yang Maha Agung sehingga meleleh air mata orang yang mendengarkan.

Kemudian, Baginda bersabda: “Ayyuhal Muslimun, aku adalah Nabi utusan Allah, pemberi nasihat dan pembawa kebenaran kepada kalian. Kedudukan aku diantara kalian bagaikan seorang saudara atau seorang ayah yang sangat kasih kepada anak-anaknya. Apabila ada diantara kalian yang merasa pernah dizalimi, ku harap dia mahu menuntutnya dariku di dunia ini sebelum datangnya tuntutan yang amat dasyat pada hari akhirat kelak.”

Berulang kali Nabi mengucapkan kata-katanya itu, tetapi tidak ada suara yang mahu menyahutnya. Siapa gerangan pengikut Nabi Muhammad yang merasa rela menuntut Nabi saw. Semua sahabat diam termangu. Ada yang terisak-isak menangis menyaksikan ketulusan dan keadilan seorang pemimpin agung ini. Mereka tak dapat membayangkan betapa seorang pemimpin yang agung dan sudah berkorban segala-galanya demi umatnya, tiba-tiba pada akhir hayatnya dan dalam keadaan badan yang sudah lemah masih menegakkan keadilan seadil-adilnya meskipun terhadap dirinya sendiri.

Dalam suasana yang hening dan mencengkam seperti itu, tiba-tiba Akasyah bin Muhshin berdiri dan memecahkan kesunyian, “Aku ya Rasulullah yang akan mengajukan tuntutan padamu.”

Mendengar kata-kata Akasyah seperti itu, para sahabat yang duduk di sekitar Nabi merasa seakan-akan disambar petir yang maha dasyat. Mereka hairan. Kerongkong mereka tersumbat tidak dapat berbicara. Jantung mereka berdebar keras seperti ingin pecah. Suara tangis mereka saling bersahut-sahutan dengan suara tangis dinding-dinding Masjid Nabawi yang ikut menyaksikan peristiwa yang amat mendebarkan itu.

“Biarkan Akaasyah mengajukan tuntutannya padaku, ” kata Nabi menenangkannya hadirin. “Aku lebih bahagia apabila aku boleh menunaikannya di dunia ini sebelum tibanya hari Qiamat kelak. Wahai Akasyah, katakanlah apa yang pernah kulakukan terhadap dirimu sehingga engkau berhak membalas terhadap diriku.”

“Ya Rasulullah, peristiwa ini terjadi pada saat ghazwah Badar.” Kata Akasyah. “Waktu itu untaku berada di samping untamu. Aku turun dari untaku kerana ingin menghapirimu. Tiba-tiba Baginda angkat kayu penyebat unta Baginda dan kayu itu mengenai bahagian belakangku. Aku tidak tahu apakah Baginda lakukan itu dengan sengaja atau kerana ingin menyebat unta itu.”

“Wahai Akasyah, Rasul Allah tidak akan mungkin melakukan perbuatan seperti itu dengan sengaja. Tetapi bagaimanapun engkau mempunyai hak untuk membalasnya.” Jawab Rasulullah saw.

“Wahai Bilal, pergilah ke rumahFathimah puteriku dan ambil kayu itu di sana,” kata Rasulullah saw.

Bilal keluar dari masjid sambil menarik nafasnya panjang-panjang. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya kepada puteri kesayangan Nabi saw. Fathimah pasti akan merasa terkejut sekali apabila diketahuinya bahawa ayah kesayangannya dituntut oleh salah seorang sahabatnya. Bukan menuntut harta, melainkan menuntut qisas denganmembalas sebatan nabi pada belakangnya. Itupun di saat-saat akhir hayatnya dan dalam keadaan badan Nabi yang sering sakit.

“Wahai Fathimah puteri Penghulu alam semesta,” kata Bilal setelah mengetuk pintu dan memberi salam kepada Fathimah. “Nabi meminta sebatang kayu yang dahulunya sering digunakannya untuk menyebat untanya.”

“Untuk apa wahai Bilal?” Tanya Fathimah ingin tahu.

“Nabi hendak memberikan kayu itu kepada seseorang yang mahu mengqisasnya (membalasnya),” jawab Bilal

“Wahai Bilal, apakah ada orang yang sanggup memukul Nabi dengan kayu itu?”

Tanpa menjawab, Bilal meninggaklkan rumah Fathimah sambil membawa kayu itu. Sesampainya di masjid, Bilal memberikan kayu itu kepada Rasulullah saw yang kemudiannya diberikan kepada Akasyah. Abu Bakar dan Umar menyaksikan kejadian itu dengan penuh keharuan. Mereka berkata: “Wahai Akasyah, kami mahu menjadi tebusan Nabi saw. Balaslah kami asal jangan engkau balas jasad Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.”

“Biarkanlah Akasyah wahai Abu Bakar dan Umar. Sungguh Allah Maha Tahu apa akan kedudukan kalian,” kata Nabi meyakinkan dua sahabat ini.

“Wahai Akasyah, jiwa ini tebusan untuk Nabi saw. Hatiku tidak dapat menerima apa yang akan engkau lakukan terhadap Nabi yang mulia ini. Ini belakangku dan tubuhku. Pukulllah aku dengan tanganmu dan sebatlah aku dengan segala kekuatannu,” kata Ali penuh kepiluan.

“Tidak Hai Ali,” kata Nabi. “Sungguh Allah Maha Tahu akan niat dan kedudukanmu.”

Hasan dan Husin, dua cucu Nabi yang sangat disayanginya kemudian berdiri dan berkata dengan suara pilu: “Wahai Akasyah, bukankah engkau tahu bahawa kami adalah cucu Rasulullah saw, darah dagingnya dan cahaya matanya. Mengambil qisas dari kami adalah sama dengan mengambil qisas dari Rasulullah saw.”

“Tidak hai Hasan dan Husin. Kalian adalah cahaya mata hatiku. Biarkanlah Akasyah melakukan apa yang ingin dilakukannya,” kata Nabi.

“Wahai Akasyah, pukullah aku apabila benar bahawa aku pernah memukulmu,” pinta Nabi kepada Akasyah.

Nabi membuka bajunya dan menelungkup bersiap sedia untuk diqisas oleh Akasyah. Para sahabat menangis penuh kesyahduan menyaksikan peristiwa itu. Tiba-tiba Akasyah membuang kayu yang digenggamnya, lalu memeluk dan meletakkan tubuhnya pada tubuh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Katanya: “Wahai junjunganku Rasulullah, jiwa ini adalah tebusanmu, hati siapa yang akan tergamak mengambil qisas darimu. Aku lakukan ini semata-mata berharap badan ini dapat bersentuhan dengan badanmu yang mulia. Dengannya kuharap Allah akan boleh memeliharaku dari sentuhan api neraka.”

Nabi kemudian bersabda: ‘Ketahuilah bahawa siapa yang ingin melihat penghuni syurga maka lihatlah Akasyah.”

JAWABAN :

[1] Kisah diatas adalah terdapat didalam hadits yang panjang dengan sedikit redaksi yang berbeda akan tetapi terdapat kisah ‘Ukasyah yang ingin minta qishahsh dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 3/58, lalu darinya diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Aulia, 4/74, melalui jalurnya juga diriwyatkan oleh Ibnu Jauzi dalam kitabnya Al-Maudhu’at, 1/295. 1

Al-Haitsami berkata setelah menyampaikan hadits ini (8/605), “Diriwayatkan oleh Thabrani, di dalam (sanad)nya terdapat Abdulmunim bin Idris, dia dikenal sebagai pendusta dan pemalsu hadits.”

Ibnu Al-Jauzi berkata dalam kitab Almaudhuat (1/301), “Ini adalah hadits maudhu (palsu) dan teranulir, semoga Allah membalas dan menistakan orang yang memalsukannya dan merendahkan syariat dengan mencampuradukkan masalah ini serta pembicaraan yang tidak pantas bagi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan juga terhadap sahabatnya.

Sang tertuduh; Abdulmunim bin Idris, berkata Ahmad tentangnya, ‘Dia pernah berdusta terhadap Wahab.’ Yahya berkata, ‘Pendusta busuk.’ Ibnu Madini dan Abu Daud berkata, ‘Tidak tsiqah.’ Ibnu Hibban berkata, ‘Tidak halal berdalil dengannya.’ Daruquthni berkata, ‘Dia dan bapaknya diabaikan.’

Demikian pula disebutkan dalam kitab Almaudhu’at oleh As-Suyuthi dalam Alla’aali’ Almudhu’ah (1/257) dan Ibnu Iraq dalam Tanzih Asy-Syariah (1/330) serta oleh Asy-Syaukani dalam kitab Alfawaid Almajmuah, hal. 324..

[2] Kisah permintaan Ukasyah untuk diqishash dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, terdapat riwayat yang menyerupainya dari jalur yang shahih, akan tetapi dalam riwayat yang shahih tersebut, bahwa yang meminta qishash adalah Usaid bin Hudhair radhiallahu anhu, dan tidak ada kaitannya dengan menjelang wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Dari Usaid bin Hudhair ia berkata :

بَيْنَمَا هُوَ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ وَكَانَ فِيهِ مِزَاحٌ بَيْنَا يُضْحِكُهُمْ فَطَعَنَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي خَاصِرَتِهِ بِعُودٍ فَقَالَ: أَصْبِرْنِي فَقَالَ: «اصْطَبِرْ» قَالَ: إِنَّ عَلَيْكَ قَمِيصًا وَلَيْسَ عَلَيَّ قَمِيصٌ، «فَرَفَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَمِيصِهِ، فَاحْتَضَنَهُ وَجَعَلَ يُقَبِّلُ كَشْحَهُ»، قَالَ إِنَّمَا أَرَدْتُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ

Dari Usaid bin Hudhair, Seorang lelaki dari kalangan Anshar mengatakan bahwa ketika ia sedang berbincang dengan sekumpulan orang -kemudian terdapat sesuatu yang lucu- yang membuat mereka tertawa, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menusukkan kayu pada lambungnya, lalu ia berkata, Apakah aku membalas mu ? Beliau menjawab : “balaslah”. Ia berkata, “Sesungguhnya engkau memakai baju, sedang aku tidak memakai baju. Maka Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam mengangkat bajunya, lalu ia (Usaid) memeluk beliau dan mencium badannya seraya berkata, “Sesungguhnya hanya ini yang aku inginkan wahai Rasulullah.” Shahih isnad. (HR Abu Dawud : 5224, Al-Baihaqi, Al-Kubro 7/102, At-Thabrani Al-Kabir 1/205, Al-Hakim Al-Mustadrak : 3/327, Dishahihkan syaikh Al-Albani di kitab shahih sunan Abu Dawud) Wallahu a’lam.

Abu Ghozie As-Sundawie

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *