Oleh : Abu Ghozie As – Sundawie
Diantara ketetapan Allah Ta’ala yang berlaku kepada para hamba-Nya tentunya dengan hikmah yang besar adalah bahwa manusia akan berselisih dan ikhtilaf atau berbeda pendapat sebagaimana Allah ta’ala telah berfirman :
وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلاَّ مَن رَّحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لأَمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Artinya : “Jikalau Rabb mu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabb mu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Rabb mu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. (QS Huud : 118-119)
Akan tetapi bukan berarti kita pasrah menyerah kepada ketetapan Allah tanpa berusaha untuk menghindari perselisihan dan perbedaan apalagi khilaf yang menyebabkan terjadinya perpecahan dan pertikaian ditengah-tengah manusia. Kita diperintahkan untuk bersatu diatas kebenaran.
Allah Ta’ala berfirman :
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ
Artinya : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai..” QS Ali Imran : 103
PEMBAGIAN KHILAF DAN HUKUMNYA
Secara umum khilaf tidaklah terlarang secara mutlak karena ada khilaf yang diperbolehkan.
Para Ulama membagi khilaf kepada dua bagian yang pokok :
[1] Khilaf Tanawu’ (beragam) artinya adanya perbedaan yang tidak saling menafikan satu sama lain karena adanya dalil bagi masing-masing perbedaan tersebut didalam syari’at. Seperti beberapa amalan atau ucapan yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya yang berbeda-beda bentuk dan lafadznya akan tetapi kedu-duanya ada dalil pensyari’atannya. Contohnya tatcara shalat malamnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang beragam atau lafadz do’a istiftah didalam shalat. (lihat Iqtidha As-Shirat Al-Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah 1/38)
[2] Khilaf Tudhad (saling bertentangan) artinya adanya perbedaan pendapat diantara para Mujtahid (ulama yang layak untuk berijtihad) tentang suatu masalah kepada dua pendapat yang saling bertentangan yang mana perbedaan tersebut harus dikembalikan kepada satu pendapat yang dipilih.
Hukumnya terbagi kepada dua macam :
[a] Khilaf As-Saaigh (boleh) :
Hukumnya boleh dan tidak tercela selama tidak menyelisihi dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah serta ijma’ atau qiyas yang shahih, baik khilafnya dalam urusan aqidah dan ini sangat jarang ataupun didalam masalah fiqhiyyah.
Apakah setiap Mujtahid yang berbeda pendapat tersebut semuanya berada pada kebenaran atau yang benar hanya ada pada salah satu pendapat ?
Yang nampak dari penjelasan para Ulama berdasarkan dalil-dalil adalah bahwa kebenaran ada pada salah satu pendapat dan yang menyelisihinya ada pada kesalahan baik didalam masalah aqidah ataupun didalam masalah fiqhiyah, baik didalam masalah ushul (pokok agama) ataupun didalam masalah furu’ (cabang agama).
Allah Ta’ala berfirman :
وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلّاً آتَيْنَا حُكْماً وَعِلْماً وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُودَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ
Artinya : “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) ; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya”. (QS Al-Anbiya’ 78-79)
Sisi pendalilannya dari ayat yang mulia diatas adalah kalau seandainya Nabi dawud dan Nabi Sulaiman ‘Alaihimas salam sama-sama benarnya didalam memutuskan hukum tentulah Allah Ta’ala tidak akan mengkhususkan Nabi Sulaiman dengan kelebihan pemahaman karena tepatnya didalam memutuskan hukum, walaupun kedua-duanya sama-sama mendapat kan ganjaran yang nampak dari pujian Allah Ta’ala kepada keduanya dengan Firman-Nya : “Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu”
Sebagaimana juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang Hakim memutuskan perkara lalu berijtihad dan ijtihadnya benar maka baginya dua pahala, tapi kalau memutuskan hukum lalu keliru maka baginya satu pahala” (HR Bukhari : 7352, Muslim : 1716)
Abu Sa’id Al-Khudriyi radhiyallahu ‘anhu menceritakan dua orang shabat yang berselisih:
خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ، فَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ، فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا، ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ، فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدِ الْآخَرُ، ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ: أَصَبْتَ السُّنَّةَ، وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ. وَقَالَ لِلَّذِي تَوَضَّأَ وَأَعَادَ: «لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
“Ada dua orang yang dalam perjalanan lalu datanglah waktu shalat sementara mereka tidak mempunyai air (untuk berwudlu) maka mereka pun bertayammum dengan debu yang suci lalu shalat. Selesai shalat mereka berdua mendapati air dan waktu shalat pun masih ada. Maka yang satu orang mengulang shalat dan wudlu, sementara yang satu orang lagi tidak mengulangnya. Lalu keduanya datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mereka menceritakan kisahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada yang tidak mengulang, “Engkau telah benar sesuai sunnah dan shalat mu sudah mencukupi, adapun engkau mendapat dua pahala” (HR Abu Dawud : 338, Ad-Darimi : 771)
Hadits diatas menunjukan kebenaran berpihak kepada yang benar ijtihadnya sementara yang salah tetap mendapat pahala walupun hanya satu pahala karena sebab salah didalam berijtihadnya.
Mensikapi khilaf seperti ini adalah :
[1] Bagi seorang Mujtahid hendaknya berupaya dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dalil-dalil sehingga mampu merajihkannya diantara pendapat yang kuat yang kemudian berpegang dan mengamalkannya dengan pendapat tersebut.
[2] bagi para penuntut ilmu yang mampu untuk merajihkan permasalahan khilafiyah sehingga memegang pendapat yang nampak pada kebenaran dari pendapat para ulama.
[3] Bagi orang awam yang tidak mampu merajihkan diantara pendapat para ulama maka hendaklah mengikuti pendapat ulama yang dinilai paling kuat keilmuan dan keshalihan serta ketaqwaannya lalu mengamalkan apa yang diyakininya, tanpa mengingkari orang yang menyelisihinya dari pendapat ulama yang lain dengan berlapang dada.
Diantara kesalahan yang terjadi adalah banyak orang yang mensikapi perselisihan para ulama mengambil pendapat mana yang paling cocok dengan seleranya atau hawa nafsunya, atau mengambil pendapat yang paling ringan untuk di amalkan.
KHILAF DIDALAM MASALAH AQIDAH :
Khilaf didalam masalah aqidah adalah khilaf yang terjadi pada perinciannya bukan pada pokoknya atau Ushulnya. Sebagaimana juga khilaf pada masalah-masalah amaliyah fiqhiyah. Contoh masalah wajibnya shalat lima waktu adalah masalah fiqhiyah amaliyah, akan tetapi ia adalah ushul (pokok) karena masalah ini telah disepakati oleh para ulama bahkan masuk ke bagian rukun Islam, sehingga menyelisihinya adalah kesesatan bahkan kekufuran, seperti halnya Menetapkan adanya adzab kubur adalah masalah aqidah dan ia adalah ushul (pokok) karena penetapan adzab kubur adalah perkara yang telah disepakati sehingga menyelisihinya pun bentuk kekufuran. Berbeda dengan Hukum shalat ‘iedul fitri misalnya apakah wajib ataukah sunnah maka ini masalah fiqhiyah dan termasuk Furu’ (cabang) disebabkan adanya perselisihan para ulama didalamnya, sebagaimana didalam aqidah misalnya apakah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melihat Allah atau tidak saat isra dan Mi’raj maka ini masuk kedalam pembahsan aqidah furu’iyyah karena adanya khilaf dikalangan para ulama ahlus sunnah.
Adapun contoh beberapa khilaf yang tidak tercela yang terjadi didalam masalah aqidah adalah diantaranya ;
[a] Khidir Nabi atau bukan, demikian juga maryam ibunda Isa alaihis salam.
[b] Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalllam melihat Allah atau tidak pada waktu isra’ dan mi’raj. Demikian juga apakah Beliau shalallahu alaihi wasallam diajak bicara oleh Allah atau tidak ?
[c] Surga yang dihuni Adam dahulu, apakah Surga yang akan dihuni oleh kaum mu’minin kelak dihari kiamat ?
[d] Makhluk yang pertama kali diciptakan apakah ‘Arsy atau Qalam atau Air ?
[e] Adzab kubur terjadi kepada Ruh atau jasad atau ruh dan jasad sekaligus ?
[f] Siapakah yang melihat Allah dipadang Mahsyar apakah orang beriman saja atau ada didalamnya orang munafik ?
[g] Hukum meninggalkan shalat karena malas apakah kafir atau fasik ?
[h] Apakah jumlah mizan pada hari kiamat satu atau banyak ?
[i] Yang ditimbang pada Mizan di hari kiamat apakah amalan, atau oarangnya atau buku catatannya ? atau semuanya ?
[j] Berapa kali tiupan sngkakala apakah dua atau tiga kali ?
[b] Khilaf Ghairus Saaigh (tidak boleh) :
Hukumnya terlarang lagi tercela karena menyelisihi dalil dari Al-Qur’an dan sunnah yang shahih, serta Ijma’ atau qiyas yang shahih, baik didalam urusan aqidah ataupun didalam masalah fiqhiyah. Oleh karena itu apabila ada pendapat seseorang yang bertentangan atau menyelisihi Nash (dalil) baik dalam masalah furu’ atau lebih lebih lagi dalam masalah ushul maka penyelisihannya kepada Nash atau dalil yang shahih tersebut adalah bentuk kesesatan.
Ushul disini maksudnya perkara-perkara agama yang sudah disepakati baik didalam masalah aqidah ataupun didalam masalah fiqhiyyah, sementara Furu’ adalah masalah-masalah agama yang masih diperselisihkan oleh para ulama ahlus sunnah baik didalam masalah aqdiyyah ilmiyyah ataupun didalam masalah fiqhiyyah amaliyyah.
Dengan khilaf ini pula yang membedakan antara ahlus Sunnah dengan Ahlul Ahwa (Bid’ah I’tiqadiyyah), misalnya tentang perbedaan pendapat antara Qadariyyah yang mengingkari taqdir dengan ahlus Sunnah yang menetapkan adanya Taqdir, maka khilaf seperti ini tidak teranggap dan tidak di nilai sebagai masalah khilafiyah yang mu’tabar tapi dianggap sebagai kebenaran dengan kebathilan.
Imam As-Syafi’i rahimahullah berkata :
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu demi mengikuti pendapat seseorang (I’lamul Muwaqi’in, 2: 282).
Mensikapi khilaf seperti ini adalah dengan amar ma’ruf nahi munkar yang sesuai dengan kaedah-kaedahnya serta memperhatikan mashlahat dan madharatnya karena perbedaannya adalah antara perkara yang haq dan yang bathil berdasarkan keumuman Firman Allah Ta’ala :
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar . merekalah orang-orang yang beruntung”. QS Ali Imran : 104
Contoh-contoh khilaf yang tercela didalam masalah aqidah dimana khilaf jenis ini lebih sedikit terjadi didalam masalah amaliyah fiqhiyah :
[a] Penyimpangan didalam masalah taqdir antara yang ekstrim menafikan dan ekstrim menetapkan seperti kelompok Qadariyah dan Jabriyah
[b] Penyimpangan didalam penetapan adzab kubur dengan cara mengingkarinya seperti kelompok Mu’tazilah
[c] penyimpangan didalam masalah sifat-sifat Allah antara yang ekstrim menetapkan dengan menyerupakan Allah dengan makhluk, dan mengingkari Sifat Allah sperti Kelompok Jahmiyah dan mu’tazilah
[d] Penyimpangan dengan mentahrif (merobah) sifat-sifat Allah tanpa dalil seperti Kelompok Asya’irah (pengikut Imam Abul Hasan Al-Asy’ari sebelum taubatnya mengikuti aqidah Salaf)
[e] Penyimpangan didalam konsep iman antara yang ekstrim dari kalangan wa’idiyah khawarij yang meyakini Iman tidak bertambah dan tidak berkurang dan murji’ah dengan semua sektenya yang manafikan amal dari iman.
[f] Penyimpangan kelompok yang mencacimaki dan mengkafirkan para Sahabat, menganggap Kekhalifahan Abu bakar, Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhum adalah tidak sah seperti kelompok Syi’ah Rafidlah.
[g] Penyimpangan yang menyatakan bahwa Allah ada dimana-mana tempat seperti kelompok Asya’irah. Padahal ulama Ahlus Sunnah telah sepakat bahwasanya Allah diatas langit beristiwa diatas ‘Arsy-Nya maha tinggi dari makhluk-Nya dll.
Imam As-Syafi’i rahimahullah berkata :
القَوْل فِي السّنة الَّتِي أَنا عَلَيْهَا وَرَأَيْت عَلَيْهَا الَّذين رَأَيْتهمْ مثل سُفْيَان وَمَالك وَغَيرهمَا الْإِقْرَار بِشَهَادَة أَن لَا إِلَه إِلَّا الله وَأَن مُحَمَّدًا رَسُول الله وَأَن الله على عَرْشه فِي سمائه يقرب من خلقه كَيفَ شَاءَ وَينزل إِلَى السَّمَاء الدُّنْيَا كَيفَ شَاءَ وَذكر سَائِر الِاعْتِقَاد
Berbicara tentang Sunnah yang aku berkeyakinan diatasnya sebagaimana juga diyakini oleh orang-orang yang aku kenal seperti Sufyan dan Malik dan yang selain keduanya adalah menetapkan Syahadat Laa ilaaha illallah wa anna muhammadan Rasulullah, dan bahwasanya Allah berada distas ‘Arasy-Nya di atas langit, mendekat kepada makhluk-Nya sesuai dengan yang di kehendaki, turun ke langit dunia sesuai dengan yang di kehendaki, dan menyebutkan juga masalah-masalah lain dari aqidah” (Al-‘Uluw li ‘aliyil Ghofaar, Ad-Dzahabi hal. 120)
Imam Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah Al-Harrani rahimahullah berkata :
فَالسَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ يَقُولُونَ: إنَّ اللَّهَ فَوْقَ سَمَوَاتِهِ مُسْتَوٍ عَلَى عَرْشِهِ بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ كَمَا دَلَّ عَلَى ذَلِكَ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَإِجْمَاعُ سَلَفِ الْأُمَّةِ
“ Maka para Salafus Shalih dan para Imam mengatakan bahwasanya Allah diatas langit-Nya beristiwa diatas ‘Arasy-Nya terpisah dari makhluk-Nyasebagai mana telah ditunjukan atas hal itu oleh Al-Qur’an dan Sunnah serta kesepakatan para ulama Salaf “ (Majmu’ul Fatawa 2/297)
Semoga Allah ta’ala senantiasa menunjukan jalan kebenaran kepada kita dan memberikan kemudahan untuk bisa menapakinya.