KEUTAMAAN BULAN SYA’BAN YANG TERLUPAKAN

 

Oleh : Abu Ghozie As Sundawie
_____

Alhamdulillah kita sudah di pertemukan kembali dengan bulan Sya’ban, maka ada baiknya jika kita mengkaji hukum syari’at yang berkaitan dengan bulan Sya’ban.

Bulan Sya’ban (bulan ke-8 dalam kalender hijriyah) yang jatuh sebelum bulan Ramadhan adalah bulan yang memiliki kekhususan, diantara kekhususan tersebut adalah sebagai berikut :

[1] Bulan di laporkannya amalan tahunan kepada Allah.

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu berkata, “Aku bertanya, wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa pada suatu bulan sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjawab :

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Sya’ban adalah bulan yang terlupakan oleh manusia, terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan.

Ia adalah bulan yang di dalamnya amal perbuatan akan di angkat (di laporkan) ke sisi Rabb semesta Alam, maka aku lebih suka kalau amalanku di laporkan sementara aku sedang berpuasa” [1]

Yang dilaporkan di bulan Sya’ban ini adalah amalan tahuan, karena amalan-amalan hamba itu di laporkan oleh malaikat kepada Allah dalam tiga waktu :

[a] Amalan tahunan yang di laporkan di bulan Sya’ban, sebagaimana di dalam hadits Usamah bin Zaid Radhiallahu anhu di atas bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Ia adalah bulan yang di dalamnya amal perbuatan akan di angkat (di laporkan) ke sisi Rabb semesta Alam” [2]

[b] Amalan mingguan yang di laporkan di setiap hari Senin dan Kamis.

Oleh karena itu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam banyak melakukan puasa pada hari Senin dan Kamis.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

«تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالخَمِيسِ، فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ»

“Di laporkan amalan-amalan itu setiap hari Senin dan Kamis, maka aku suka kalau amalanku di laporkan dalam keadaan aku sedang berpuasa” [3]

[c] Amalan harian yang di laporkan setiap pagi dan petang.

Yaitu pagi pada waktu shalat subuh sedangkan petang pada waktu shalat ashar.

Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلاَئِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلاَئِكَةٌ بِالنَّهَارِ، وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلاَةِ الفَجْرِ وَصَلاَةِ العَصْرِ، ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ، فَيَسْأَلُهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ: كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي؟ فَيَقُولُونَ: تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ، وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ

“Silih bergantian pada sisi kalian malaikat malam dan malaikat siang, mereka berkumpul pada waktu shalat subuh dan shalat ashar, lalu naiklah malaikat yang semalam bersama kalian, maka Allah bertanya kepada mereka, dan Dia maha mengetahui terhadap mereka,”bagaimana kalian tinggalkan para hamba-Ku ?

Maka para malaikat menjawab, “kami datangi mereka dalam keadaan shalat (ashar) dan kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat (subuh)”[4]

[2] Bulan yang dianjurkan padanya untuk memperbanyak ibadah khususnya ibadah puasa, karena bulan Sya’ban adalah bulan yang banyak dilalaikan oleh manusia.

Sementara beribadah pada saat-saat yang di lalikan oleh manusia pahalanya sangat besar di sisi Allah.

♡ As Syaukani rahimahullah berkata :

الظَّاهِرَ أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّهُمْ يَغْفُلُونَ عَنْ تَعْظِيمِ شَعْبَانَ بِالصَّوْمِ كَمَا يُعَظِّمُونَ رَمَضَانَ وَرَجَبًا بِهِ .

Yang nampak bahwa maksud hadits adalah mereka melalaikan dari mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa padanya, (tidak) sebagaimana mereka mengangungkan Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa”[5]

🚩 Rasulullah shalallahu alaihi wasallam banyak melakukan puasa di bulan sya’ban.

Sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يَصُومُ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

Adalah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam selalu berpuasa sehingga kami mengatakan kalau beliau tidak pernah berbuka (tidak puasa), dan beliau pun berbuka (tidak berpuasa) sehingga kamipun mengatakan kalau beliau tidak pernah berpuasa, aku tidak pernah melihat beliau menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali puasa bulan Ramadhan, dan aku tidak pernah melihat beliau banyak berpuasa selain di bulan Sya’ban”[6]

Di karenakan terlalu seringnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berpuasa di bulan Sya’ban, Umu Salamah radhiyallahu anha ia mengungkapkannya dengan ungkapan puasa sebulan penuh :

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلَّا شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ

“Aku tidak pernah melihat Nabi shalallahu alaihi wasallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali pada bulan Sya’ban dan Ramadhan” [7]

Dalam lafadz lain di ungkapkan :

أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلاَّ شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu di lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” [8]

Yang dimaksud puasa Nabi shalallahu alaihi wasallam di bulan sya’ban ini bukan puasa sebulan penuh tapi maksudnya banyak melakukan puasa tidak seperti bulan-bulan lainnya.

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al hafidz Ibnu hajar rahimahullah beliau berkata ;

أَيْ كَانَ يَصُوم مُعْظَمَهُ وَنَقَلَ التِّرْمِذِيُّ عَنْ اِبْن الْمُبَارَك أَنَّهُ قَالَ : جَائِزٌ فِي كَلام الْعَرَب إِذَا صَامَ أَكْثَرَ الشَّهْرِ أَنْ يَقُولَ صَامَ الشَّهْرَ كُلَّهُ

“Maksudnya Nabi shalallahu alaihi wasallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban

Dan Tirmidzi telah menukil dari Ibnul Mubarak bahwasanya ia berkata, boleh saja dalam bahasa arab apabila seseorang banyak berpuasa di satu bulan untuk di katakan telah berpuasa di satu bulan penuh” [9]

♡ As Sindi rahimahullah berkata dalam menjelaskan hadits Umu Salamah :

( يَصِل شَعْبَان بِرَمَضَان ) أَيْ : فَيَصُومهُمَا جَمِيعًا ، ظَاهِره أَنَّهُ يَصُوم شَعْبَان كُلّه . . . لَكِنْ قَدْ جَاءَ مَا يَدُلّ عَلَى خِلافه ، فَلِذَلِكَ حُمِلَ عَلَى أَنَّهُ كَانَ يَصُوم غَالِبه فَكَأَنَّهُ يَصُوم كُلّه وَأَنَّهُ يَصِلهُ بِرَمَضَان

“Nabi shalallahu alaihi wasallam menyambungnya antara puasa Sya’ban dengan puasa Ramadhan, yakni beliau puasa kedua-duanya (Sya’ban dan Ramdhan) dzahirnya hadits menunjukan kalau beliau berpuasa penuh pada bulan Sya’ban.

Namun telah datang (riwayat) yang menunjukan sebaliknya, oleh karena itu hadits ini di bawa kepada makna bahwa beliau berpuasa hampir seluruhnya dibulan sya’ban seolah seolah dianggap telah berpuasa penuh di bulan Sya’ban yang di sambung dengan bulan Ramadhan” [10]

♡ Oleh karena itu Aisyah radhiyallahu anha berkata :

وَلا أَعْلَمُ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ الْقُرْآنَ كُلَّهُ فِي لَيْلَةٍ ، وَلا صَلَّى لَيْلَةً إِلَى الصُّبْحِ ، وَلا صَامَ شَهْرًا كَامِلا غَيْرَ رَمَضَانَ

Aku tidak pernah tahu Nabi shalallahu alaihi wasallam membaca Al Quran seluruhnya dalam semalam, demikian juga aku tidak pernah tahu beliau shalat malam terus-menerus sampai subuh, demikian juga aku tidak pernah tahu beliau puasa sebulan penuh selain puasa di bulan Ramadhan”[11]

♡ Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata ;

مَا صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا كَامِلا قَطُّ غَيْرَ رَمَضَانَ

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak pernah puasa satu bulan penuh selain puasa Ramadhan”[12]

Intinya sebagaimana dzahirnya hadits-hadits dan penjelasan para ulama di atas bahwa kita dianjurkan untuk berpuasa dibulan Sya’ban namun tidak seluruhnya selama satu bulan di bulan Sya’ban.

[3] Hikmah memperbanyak ibadah puasa di bulan Sya’ban.

Dipilihnya ibadah puasa di bulan sya’ban menjadi ibadah yang utama dan di tekankan untuk melakukannya dan bukan ibadah lainnya adalah mengandung hikmah-hikmah yang banyak diantaranya :

[a] Bulan Sya’ban adalah bulan saat dilaporkannya amalan-amalan hamba kepada Allah, dan pada saat amalan dilaporkan dianjurkan untuk memperbanyak ibadah puasa.

Hal ini didasarkan kepada sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam :

….فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“…Maka aku lebih suka kalau amalanku di laporkan sementara akau sedang berpuasa” [13]

[b] Sebagai sarana latihan untuk membiasakan diri berpuasa dalam rangka menyambut bulan Ramadhan.

Sehingga ketika datang bulan Ramadhan seorang muslim sudah terbiasa puasa dan melakukannya dengan penuh semangat. [14]

[c] Sebagai bentuk ibadah qabliyah (sebelum Ramadhan), demikian pula puasa 6 hari di bulan Syawwal adalah sebagai bentuk ibadah ba’diyyah (setelah puasa Ramadhan).

♡ Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Siapa saja yang puasa Ramadhan lalu di ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawwal maka ia seperti puasa setahun” [15]

[4] Larangan berpuasa pada pertengahan bulan Sya’ban.

♡ Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi shalallahu alihi wasallam bersabda :

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلا تَصُومُوا

“Apabila sudah masuk Nisfu Sya’ban maka janganlah kalian berpuasa” [16]

Hadits ini menunjukan larangan memulai berpuasa mutlak pada tanggal 16 bulan Sya’ban.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Munawi rahimahullah :

(فَلاَ تَصُوْمُوْا) أَيْ يُحْرَمُ عَلَيْكُمْ ابْتَدَاءُ الصَّوْمِ بِلَا سَبَبٍ حَتَّى يَكُوْنَ رَمَضَان

“Maka janganlah kalian berpuasa, maksudnya haram bagi kalian untuk memulai puasa tanpa sebab, sampai masuk bulan Ramadhan” [17]

● Namun tentang derajat keabsahan hadits inipun diperselisihkan oleh para ulama.

Sebagian Ulama seperti Imam Ibnu Qoyyim dan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini namun Mayoritas dari mereka melemahkannya.

Sebagaimana di ungkapkan oleh Al hafidz Ibnu hajar :

وَقَالَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ يَجُوزُ الصَّوْمُ تَطَوُّعًا بَعْدَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَضَعَّفُوا الْحَدِيثَ الْوَارِدَ فِيهِ, وَقَالَ أَحْمَدُ وَابْنُ مَعِينٍ إِنَّهُ مُنْكَرٌ اهـ من فتح الباري . وممن ضعفه كذلك البيهقي والطحاوي .

“Mayoritas para Ulama mengatakan, boleh berpuasa sunnah setelah lewat nishfu sya’ban karena para ulama melemahkan hadits yang datang tentang larangannya.

Ahmad dan Ibnu Ma’in mengatakan haditsnya Munkar” [18]

Bagi mereka yang menshahihkan hadits di atas, maka maksud larangan berpuasa di sini adalah bagi yang mengawali berpuasa mutlak setelah masuk pertengahan Sya’ban.

Larangan ini dikecualikan dari :

[a] Orang yang memiliki kebiasaan berpuasa, seperti seseorang yang terbiasa puasa Senin – Kamis, maka dia (dibolehkan) berpuasa meskipun setelah pertengahan Sya’ban.

Dalil akan hal ini adalah sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam :

لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلا يَوْمَيْنِ إِلا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari dan dua hari kecuali bagi seseorang yang terbiasa berpuasa, maka (tidak mengapa) dia berpuasa.”[19]

[b] Orang yang sudah mulai berpuasa sebelum pertengahan Sya’ban, lalu dia ingin melanjutkan puasa sebelumnya hingga setelah pertengahan (Sya’ban).

Kondisi ini juga termasuk yang tidak di larang.

Dalil akan hal ini adalah ungkapan Aisyah radhiallahu anha :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ ، يَصُومُ شَعْبَانَ إِلا قَلِيلا

“Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya, beliau berpuasa bulan Sya’ban kecuali sedikit saja.”[20]

An-Nawawi rahimahullah berkata:

قَوْلهَا : ( كَانَ يَصُوم شَعْبَان كُلّه , كَانَ يَصُومُهُ إِلا قَلِيلا ) الثَّانِي تَفْسِيرٌ لِلأَوَّلِ , وَبَيَان أَنَّ قَوْلهَا “كُلّه” أَيْ غَالِبُهُ

“Ungkapan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam sering berpuasa pada bulan Sya’ban, beliau berpuasa bulan Sya’ban kecuali sedikit saja.”

Kalimat kedua menjelaskan kalimat pertama.

Kata ‘kullahu’ (seluruhnya), maksudnya adalah sebagian besarnya“.

Hadits ini menunjukkan dibolehkannya berpuasa setelah pertengahan Sya’bah, akan tetapi bagi yang meneruskan puasa sejak sebelum pertengahan (Sya’ban).

[c] Dikecualikan dari larangan ini juga orang yang mengqadha puasa Ramadhan.

An-Nawawi rahimahullah berkata :

قَالَ أَصْحَابُنَا لا يَصِحُّ صَوْمُ يَوْمِ الشَّكِّ عَنْ رَمَضَانَ بِلا خِلافٍ . . . فَإِنْ صَامَهُ عَنْ قَضَاءٍ أَوْ نَذْرٍ أَوْ كَفَّارَةٍ أَجْزَأَهُ ، لأَنَّهُ إذَا جَازَ أَنْ يَصُومَ فِيهِ تَطَوُّعًا لَهُ سَبَبٌ فَالْفَرْضُ أَوْلَى . . وَلأَنَّهُ إذَا كَانَ عَلَيْهِ قَضَاءُ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ , فَقَدْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ ; لأَنَّ وَقْتَ قَضَائِهِ قَدْ ضَاقَ اهـ .

Para Ulama madzhab kami mengatakan, tidak sah berpuasa pada hari syak (ragu-ragu) menjelang Ramadhan tanpa ada perbedaan pendapat.

Maka, kalau dia berpuasa untuk qadha, nazar atau kaffarat (tebusan) maka puasanya sah.

Sebab kalau di bolehkan berpuasa sunnah karena suatu sebab, maka (puasa) wajib lebih utama.

Karena kalau dia mempunyai tanggungan qadha sehari saja dari Ramadhan, maka hal itu merupakan suatu keharusan baginya, karena waktu qadhanya sudah sempit.”[21]

TRADISI YANG KELIRU DI BULAN SYA’BAN

Agama islam ini mulia, indah, mudah dan telah sempurna, sehingga tidak butuh penambahan atau pengurangan dalam seluruh aspeknya, baik yang berhubungan dengan masalah aqidah ataupun masalah ibadah.

Hal ini berdasarkan Firman Allah :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”[22]

Tentang ayat ini Imam Malik rahimahullah berkata :

مَنِ ابْتَدَعَ فِيْ الْإِسْلَامِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَداً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَانَ الرِّسَالَةِ، لِأَنَّ اللَّهَ يَقُوْلُ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْناً فَلَا يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْناً

“Siapa saja yang melakukan bid’ah (mengada-ada) di dalam islam dengan suatu bid’ah dan memandangnya sebagai suatu kebaikan maka sungguh ia telah menyangka bahwa Muhammad shalallahu alaihi wasallam mengkhianati risalah (tidak menyampaikan agama ini seluruhnya), karena Allah telah berfirman Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,

Maka perkara yang pada saat itu bukan bagian dari agama, pada hari inipun bukan bagian dari agama”[23]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan keras agar umatnya tidak beramal tanpa tuntunan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin sekali umatnya mengikuti ajaran beliau dalam beramal sholeh.

Beliau bersabda :

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[ 24]

Diantara perkara yang menunjukan kesempurnaan islam adalah bahwasanya islam mengatur tatacara ibadah dan bagaimana cara menghidupkan bulan Sya’ban.

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu berkata, “Aku bertanya, wahai Rasulullah , aku tidak pernah melihat engkau berpuasa pada suatu bulan sebagaimana engkau berpuasa pada bulan sya’ban.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjawab :

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Sya’ban adalah bulan yang terlupakan oleh manusia, terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan.

Ia adalah bulan yang di dalamnya amal perbuatan akan di angkat (di laporkan) ke sisi Rabb semesta Alam, maka aku lebih suka kalau amalanku dilaporkan sementara akau sedang berpuasa” [25]

Dari hadits di atas menunjukan bahwa menghidupkan bulan sya’ban itu adalah dengan memperbanyak ibadah puasa.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

“Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan.

Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” [26]

Ibadah puasa yang dimaksud adalah ibadah puasa yang disyari’atkan seperti :

•》 Puasa senin kamis

•》 Puasa Dawud

•》 Puasa tiga hari dalam setiap bulan.

Dan puasa yang paling utama adalah puasa Dawud.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ، كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا

“Puasa yang paling di cintai Allah adalah puasa dawud, yaitu puasa sehari dan berbuka sehari” [27]

Sangat di sayangkan bagi sebagian kaum muslimin di bulan Sya’ban yang seharusnya meneladani Nabi shalallahu alaihi wasallam dalam menghidupkannya, akan tetapi malah memeriahkannya dengan mengadopsi berbagai praktek ritual ibadah yang berasal dari adat istiadat bahkan sebagiannya dari ajaran hindu yang bertentangan dengan syari’at islam.

Kalaupun ada yang berasal dari sesuatu yang identik dengan ajaran agama seperti puasa atau shalat, akan tetapi tidak lepas dari penyimpangan.

karena tidak adanya dalil yang menjadi dasar dan pegangan pengkhusuan ibadah di bulan sya’ban.

Diantara ritual ritual tersebut adalah :

[1] Ruwahan

Ruwahan berasal dari kata “Ruwah” merupakan bulan urutan ke tujuh, dalam kalender jawa.

Dan berbarengan dengan bulan Sya’ban tahun Hijriyyah sehingga bulan Sya’ban pun di kenal juga oleh sebagian masyarakat khususnya di daerah sunda dan jawa dengan bulan ruwah.

Kata “ruwah” sendiri memiliki akar kata “arwah”, atau roh para leluhur dan nenek moyang.

Ruwahan sendiri bukan dari ajaran islam akan tetapi berasal dari hindu.

Lalu ritual ruwahan tersebut di adopsi kedalam agama islam berupa kebiasaan kirim do’a kepada kerabat yang sudah meninggal dunia dengan mengadakan tahlilan atau yasinan dan mengundang tetangga kanan kiri yang pulangnya mereka diberi ”berkat” sebagai simbul rasa terima kasih.

[2] Nyadran.

Nyadran adalah ziarah kubur untuk mengingatkan manusia kepada asal-usulnya yaitu para leluhur.

Nyadran di awali dengan membersihkah makam dan sekitarnya dari rerumputan liar dan sampah lalu membacakan tahlil dan yasin.

Nyadran sendiri berasal dari kata “sradha”, yang konon merupakan tradisi yang diawali oleh Ratu Tribuana Tunggadewi, raja ketiga Majapahit.

Pada zaman itu Kanjeng Ratu ingin melakukan doa kepada sang ibunda Ratu Gayatri, dan roh nenek moyangnya yang telah diperabukan di Candi Jabo.

Untuk keperluan itu dipersiapkanlah aneka rupa sajian untuk di dermakan kepada para dewa.

Sepeninggal Ratu Tribuana Tunggadewi, tradisi ini dilanjutkan juga oleh Prabu Hayam Wuruk.

Lalu sampai akhirnya di bumbui di ramu dan di campurkan dengan ajaran islam dan di lestarikan sampai sekarang.

Ziarah kubur adalah ibadah yang sangat di syari’atkan akan tetapi menetapkan lebih utama di bulan Sya’ban butuh kepada dalil khusus

Sementara dalilnya dalam masalah ini tidak ada.

[3] Mengkhususkan shalat dan puasa pada malam nisfu Sya’ban.

Sebagian orang beralasan dengan hadits palsu :

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا، وَصُومُوا نَهَارَهَا

Apabila berada pada malam nisfu sya’ban maka shalatlah malam harinya dan puasalah siang harinya. [28]

Hadits ini palsu sebagaimana penjelasan Al Bushiri bahwa didalam sanadnya ada Ibnu Abi Sabrah yang nama aslinya Abu Bakar bin ‘Abdullah bin Abi Sabrah. Imam Ahmad dan Imam Ibnu Ma’in menyatakan, “ia telah membuat hadits palsu”.[29]

Maka dalam hal ini bukan masalah shalatnya atau puasanya yang tercela tapi penetapan keutamaannya yang dilakukan pada malam nisfu Sya’ban yang butuh kepada dalil khusus.

Sementara dalil-dalil dalam pengkhususan malam nisfu sya’ban untuk beribadah tertentu tidak ada yang shahih.

Seperti misalnya malam Jum’at itu waktu yang utama akan tetapi Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang mengkhususkannya unutk beribadah tertentu.

Beliau bersabda :

لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ

“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.” [30]

Di dalam kaedah tentang bid’ah disebutkan:

كُلُّ عِبَادَةٍ مُطْلَقَةٍ ثَبَتَتْ فِيْ الشَّرْعِ بِدَلِيْلٍ عَامٍ؛ فَإِنَّ تَقْيِيْدَ إِطْلَاقِ هَذِهِ الْعِبَادَةِ بِزَمَانٍ أَوْ مَكَانٍ مُعَيَّنٍ أَوْ نَحْوِهِمَا بِحَيْثُ يُوْهِمُ هَذَا التَّقْيِيْدَ أَنَّهُ مَقْصُوْدٌ شَرْعًا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَدُلَّ الدَّلِيْلُ الْعَامُ عَلَى هَذَا التَّقْيِيْدِ فَهُوَ بِدْعَةٌ

“Setiap ibadah mutlak yang di syari’atkan berdasarkan dalil umum, maka pengkhususan yang umum tadi dengan waktu atau tempat yang khusus atau pengkhususan lainnya, dianggap bahwa pengkhususan tadi ada dalam syari’at namun sebenarnya tidak di tunjukkan dalam dalil yang umum, maka pengkhususan tersebut adalah bid’ah.” [31]

Adapun Hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” [32]

Hadits ini menunjukan bahwa diantara sebab meraih keutamaan malam nishfu sya’ban yaitu ampunan Allah Ta’ala, dengan menjauhi permusuhan, kedengkian, hasad, bersihkan hati, cintailah saudaranya dari kaum muslimin.

Hadits ini tidak bisa dijadikan dalil bolehnya mengkhususkan ibadah tertentu di malam nisfu sya’ban.

Dalam masalah ini Ibnu Hajar Al Haitami As Syafi’I rahimahullah berkata :

وأما الصَّلَاةِ الْمَخْصُوصَةِ لَيْلَتهَا ليلة النصف وَقَدْ عَلِمْت أَنَّهَا بِدْعَةٌ قَبِيحَةٌ مَذْمُومَةٌ يُمْنَعُ مِنْهَا فَاعِلُهَا، وَإِنْ جَاءَ أَنَّ التَّابِعِينَ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ كَمَكْحُولٍ وَخَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ وَلُقْمَانَ وَغَيْرِهِمْ يُعَظِّمُونَهَا وَيَجْتَهِدُونَ فِيهَا بِالْعِبَادَةِ، وَعَنْهُمْ أَخَذَ النَّاسُ مَا ابْتَدَعُوهُ فِيهَا وَلَمْ يَسْتَنِدُوا فِي ذَلِكَ لِدَلِيلٍ صَحِيحٍ وَمِنْ ثَمَّ قِيلَ أَنَّهُمْ إنَّمَا اسْتَنَدُوا بِآثَارٍ إسْرَائِيلِيَّةٍ وَمِنْ ثَمَّ أَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ أَكْثَرُ عُلَمَاء الْحِجَازِ كَعَطَاءٍ وَابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ وَفُقَهَاء الْمَدِينَة وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ وَغَيْرِهِمْ قَالُوا: وَذَلِكَ كُلُّهُ بِدْعَةٌ؛ إذْ لَمْ يَثْبُت فِيهَا شَيْءٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ

“Adapun mengkhususkan shalat tertentu pada malam nishfu sya’ban sebagaimana telah diketahui bahwasanya ia adalah bid’ah yang buruk lagi tercela, dilarang untuk melakukannya, walaupun ada diantara para tabi’in dari negeri syam seperti Makhul, Khalid bin Ma’dan, dan Luqman dll mengagungkan malam nisfu sya’ban dan bersungguh sungguh beribadah padanya, dari merekalah manusia mengambil alasan mereka untuk melakukan bid’ah mereka pada malam tersebut, sementara tidak ada dalil Dari sanalah dikatakan kalau sandaran mereka berasal dari riwayat israiliyat (cerita dari ahlil kitab), sehingga karena itupula lah para ulama hijaz seperti ‘atho, ibnu mulaikah, dan para ulama ahli fikih Madinah, demikian juga perkataan para pengikut madzhab Syafi’i, Malik dan yang selain mereka mengingkarinya, mereka mengatakan bahwa semua itu adalah bid’ah karena tidak ada dalil yang shahih datang dari Nabi shalallahu alaihi wasallam atau seorang pun dari para sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam”. [33]

[4] Melakukan shalat Alfiyah atau shalat Baroah.

Shalat Alfiyah atau Baroah yaitu shalat 100 roka’at di malam nisfu sya’ban di setiap roka’atnya membaca Qul Huwallahu Ahad 10 kali, maka dinamakanlah shalat alfiyah (seribu) karena bacaan Qulhunya sebanyak seribu kali dalam seratus roka’at.

Cukuplah penjelasan Imam An Nawawi rahimahullah, seorang ulama besar dari kalangan ulama yang bermadzhab Syafi’I tentang apa hukum melakukan shalat Alfiyah ini.

Beliau rahimahullah berkata ;

الصَّلَاةُ الْمَعْرُوفَةُ بصلاة الرغائب وهي ثنتى عَشْرَةَ رَكْعَةً تُصَلَّى بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لَيْلَةَ أَوَّلِ جُمُعَةٍ فِي رَجَبٍ وَصَلَاةُ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ مِائَةُ رَكْعَةٍ وَهَاتَانِ الصَّلَاتَانِ بِدْعَتَانِ وَمُنْكَرَانِ قَبِيحَتَانِ وَلَا يُغْتَرُّ بِذَكَرِهِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَإِحْيَاءِ عُلُومِ الدِّينِ وَلَا بِالْحَدِيثِ الْمَذْكُورِ فِيهِمَا فَإِنَّ كُلَّ ذَلِكَ بَاطِلٌ

“Shalat yang di kenal dengan shalat Raghaaib yaitu shalat 12 roka’at dilakukan antara maghrib dan isya di malam Jum’at pertama di bulan Rajab, dan juga shalat di malam nisfu sya’ban sebanyak 100 roka’at (shalat Alfiyyah), maka kedua shalat ini adalah bid’ah yang munkar lagi buruk,

Jangan tertipu dengan di sebutkannya kedua shalat ini di kitab Qutul Qulub dan kitab Ihya Ulumuddin.

✏ Jangan pula tertipu kalau kedua shalat ini ada haditsnya karena semua hadits-hadits tersebut adalah bathil”[34]

[5] Mengkhususkan sedekah dan membuat makanan di bulan sya’ban, khususnya di malam nisfu sya’ban.

Sampai-sampai di sebagian daerah di jawa mengharuskan makanan yang khusus yang dikaitkan dengan symbol-symbol tertentu dalam rangka untuk lebih memaknai suatu ibadahnya.

Mereka saling kirim makanan dengan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem.

Makna dari ketiga makanan itu adalah :

°• Ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi

°• Kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan.

°• Apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan (ahfum).

♡ Syaikh Bakar Abu Zaid rahimahullah berkata :

لاَ يُعْرَفُ فِيْ السُّنَّةِ إِثْبَاتُ فَضْلٍ لِشَهْرِ شَعْبَانَ إِلَّا مَا ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِكْثَارِ الصِّيَامِ فِيْهِ وَأَمَا حَدِيْثُ : فَضْلُ شَعْبَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كِفَضْلِيْ عَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ فَهُوَ مَوْضُوْعٌ .

Tidak di kenal di dalam sunnah penetapan keutamaan bulan Sya’ban kecuali apa yang telah shahih datang dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bahwasanya beliau memperbanyak melakukan puasa sunnah di bulan tersebut.

Adapun hadits yang berbunyi, “Keutamaan bulan sya’ban di bandingkan dengan bulan lainnya seperti keutamaan aku dibandingkan dengan seluruh para Nabi” adalah hadits yang palsu”.[35]

KESIMPULAN :

Marilah kita memperbanyak ibadah puasa sunnah di bulan Sya’ban ini, termasuk bagi mereka yang masih memiliki utang puasa Ramadhan di waktu-waktu lalu khususnya kaum hawa, hendaklah mengqadhanya di bulan ini sebelum datangnya bulan Ramadhan.

Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata :

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، الشُّغْلُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوْ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»

“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban karena kesibukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [36]

Hadits ini menunjukan boleh seseorang untuk melakukan qadha puasa Ramadhan walaupun di bulan Sya’ban, akan tetapi yang utama untuk bersegera didalam urusan membayar utang apalagi ini menyangkut utang terhadap Allah.

Adapun ada hadits yang melarang berpuasa kalau sudah lewat pertengahan Sya’ban, seperti hadits ;

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلا تَصُومُوا

“Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban, janganlah berpuasa.” [37]

Maksud hadits ini adalah larangan berpuasa mutlak setelah datang pertengahan sya’ban.

Seperti dijelaskan oleh Al Munawi rahimahullah :

أَيْ يُحْرَمُ عَلَيْكُمْ اِبْتِدَاءُ الصَّوْمِ بِلَا سَبَبٍ حَتَّى يَكُوْنَ رَمَضَانَ

“Maksud hadis, terlarang bagi kalian untuk memulai puasa tanpa sebab (maksudnya puasa mutlak), sampai masuk bulan Ramadhan” [38]

Adapun bagi yang sudah terbiasa melakukan puasa sunnah atau puasa qadha Ramadhan maka di bolehkan untuk berpuasa walaupun lewat pertengahan sya’ban.

Sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wasallam telah bersabda :

لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلا يَوْمَيْنِ إِلا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari kecuali puasa yang sudah biasa dia lakukan” [39]

Imam An Nawawi rahimahullah berkata :

قَالَ أَصْحَابُنَا لا يَصِحُّ صَوْمُ يَوْمِ الشَّكِّ عَنْ رَمَضَانَ بِلا خِلافٍ . . . فَإِنْ صَامَهُ عَنْ قَضَاءٍ أَوْ نَذْرٍ أَوْ كَفَّارَةٍ أَجْزَأَهُ ، لأَنَّهُ إذَا جَازَ أَنْ يَصُومَ فِيهِ تَطَوُّعًا لَهُ سَبَبٌ فَالْفَرْضُ أَوْلَى . .

Para ulama kami (syafi’iyyah) berkata tidak sah puasa pada hari ragu (yakni Ramadhan sudah masuk atau belum) tanpa ada perbedaan pendapat para ulama.

Adapun puasa qadha, atau nadzar, atau kafarat maka boleh berpuasa (setelah lewat tengah sya’ban) karena jika puasa yang sunnah saja di bolehkan (apabila sudah terbiasa) maka puasa yang sebabnya adalah wajib (seperti qadha, nadzar, dan kafarat) lebih utama lagi untuk bolehnya” [40]

Dan maksud larangan berpuasa kalau sudah masuk pertengahan sya’ban adalah ketika pertengahan sya’ban baru mau memulai puasa.

Adapun ketika sudah berpuasa sebelum pertengahan sya’ban lalu nyambung berpuasa sampai melewati pertengahan Sya’ban maka hal ini boleh.

Sebagaimana riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu anaha, ia berkata :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ ، يَصُومُ شَعْبَانَ إِلا قَلِيلا

“Adalah Nabi shalallahu alaihi wasallam terkadang puasa sya’ban seluruhnya (banyak berpuasa), terkadang beliau tidak berpuasa di bulan sya’ban kecuali sedikit”[41]

Demikian pembahasan ringkas terkait bulan Sya’ban, semoga memotivasi kita untuk selalu berusaha meningkatkan amalan ibadah khususnya dibulan Sya’ban demi menyambut kedatangan Ramadhan bulan yang penuh berkah.

Semoga bermanfaat dan dapat mencerahkan.
Wallahu A’lam.

______🍀

Referensi

[1] HR. Ahmad 5/201 no 21753 di shahihkan oleh syaikh Al Albani di dalam As Shahihah 4/1898

[2] HR. An Nasai shahih sunan Nasai no 2221

[3] HR. Tirmidzi 747 shahih targhib wa Tarhib no 1027, 1029

[4] HR. Bukhari 555, Muslim 632

[5] Nailul Authar 7/151

[6] HR. Bukhari 1969, Muslim175

[7] HR. Tirmidzi 736

[8] HR. Abu Dawud 2336 dan An Nasai Al Kubra 7966, syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, lihat shahihul jaami’ no 4628

[9] Fathul Bari, Ibnu Hajar 4/214

[10] Hasyah As Sindi ‘Ala sunan ibnu Majah 1/505

[11] HR. Muslim 139

[12] HR. Bukhari 1971

[13] HR. Ahmad 5/201 no 21753 di shahihkan oleh Al Albani di dalam shahihah 4/1898

[14] Lathoiful ma’arif Ibnu Rajab hal 141

[15] HR. Muslim 204

[16] HR. Abu Dawud 3237, Ibnu Majah 1651, Tirmidzi 738 di shahihkan oleh Al Albani dalam shahih Tirmidzi 590

[17] Faidhul Qodir 1/304

[18] Fadhul Bari, Ibnu Hajar 4/129

[19] HR. Bukhari no 1914 dan Muslim 1082

[20] HR. Bukhari no 1970, Muslim no 1156 Redaksi hadits dari Muslim

[21] Al Majmu 6/399

[22] QS Al Maidah : 3

[23] Al I’thishom Imam Syathibi 1/49

[24] HR. Bukhari 20 dan Muslim 1718

[25] HR. Ahmad 21753 di shahihkan oleh syaikh Al Albani di dalam As shahihah 4/1898

[26] HR. Bukhari 1969 dan Muslim 1156

[27] HR. Bukhari 3420 Muslim 186

[28] HR. Ibnu Majah 1388

[29] Zawaaid Ibnu Majah 2/10 lihat Bida’ wa Akhtho’ tata Alaqu bil Ayyam was syuhur hal 352

[30] HR. Muslim 1144

[31] Qowa’id ma’rifatil bida’ hal 116

[32] HR. Ibnu Majah 1390 di shahihkan oleh syaikh Al Albani Rahimahullah, lihat As Silsilah 1144 shahihul Jaami’ 1819

[33] Al Fatawa Al Fiqhiyyah Al kubra 2/80

[34] Al Majmu’ syarah Al Muhadzab An Nawawi 3/506 lihat juga Al Baa’its Ibnu Syaamah hal 124-138

[35] Ma’jumul manahil lafdziyyah syaikh Bakr Abu Zaid hal 316

[36] HR. Muslim 151

[37] HR. Abu Dawud 3237 At Tirmidzi 738 dan Ibnu Majah 1651 di nilai shahih oleh syaikh Al Albani

[38] Faidhul Qodir Al Munawi 1: 304/494

[39] HR. Bukhari 1914, Muslim 1082

[40] Al Al Majmu’ syarah Al Muhadzab 6/399

[41] HR. Bukhari 1970, Muslim 1156.

_____

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *