HUKUM MEMBACA SHADAQALLAHUL ‘ADZIM

Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie

 

مَسْأَلَةٌ : اعْتَادَ النَّاسُ أَنْ يَنْهَوْا تِلَاوَتَهُمْ بِقَوْلِ : صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ. فَهَلْ عَلَى هَذَا دَلِيْلٌ صَحِيْحٌ؟

Soal :

Manusia terbiasa membaca : Shadaqallahul ‘Adzim (Maha benar Allah dengan segala firman-Nya) Apakah ini ada dalilnya?

الْجَوَابُ : لَا دَلِيْلَ عَلَى قَوْلِ {صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ} عِنْدَ الْاِنْتَهَاءِ مِنَ التِّلَاوَةِ، وَإِنْ كَانَ هَذَا عَمَلُ الْأَكْثَرِيْنَ، وَعَمَلُ الْكَثْرَةِ لَيْسَ دَلِيْلاً عَلَى إِصَابَةِ الْحَقِّ، قَالَ تَعَالَى : {وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ} .

Jawab :

Tidak ada dalil ketika selesai membaca Al Qur an mengucapkan : Shadaqallahul ‘adzim. Sekalipun ini adalah perbuatan kebanyakan orang saat ini. Dan amalan orang banyak bukanlah hujjah untuk menetapkan sebuah kebenaran. Allah ﷻ berfirman, “Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.”
(QS. Yusuf : 103)

وَمِنْ لَطِيْفِ قَوْلِ الْفُضَيْلِ بْنِ عِيَاضٍ رَحِمَهُ اللهُ : لَا تَسْتَوْحِشْ طُرُقَ الْهُدَى لِقِلَّةِ أَهْلِهَا، وَلَا تَغْتَرَّ بِكَثْرَةِ الْهَالِكِينَ. بَلْ إِنَّ الدَّلِيْلَ مَعَ مَنْ مَنَعَ خَتْمَ التِّلَاوَةِ بِهَذَا الْقَوْلِ.

Dan ada sebuah hikmah dari ungkapan Fudhail bin Iyadh rahimahullah “Janganlah bersedih hati terhadap jalan kebenaran karena sedikit yang penempuhnya. Dan janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang menempuh jalan kebinasaan.” Bahkan sebaliknya, dalil berpihak ke pada orang yang melarang membaca : Shadaqallahul ‘Adzim bila selesai membaca Al-Quran.

فَقَدْ رَوَى الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَغَيْرُهُمَا مِنْ حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اقْرَأْ عَلَيَّ» قَالَ : قُلْتُ : أَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ: «إِنِّي أَشْتَهِي أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي»

Imam Al-Bukhari dan Muslim dan yang lainnya meriwayatkan, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu , dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Bacalah Al-Quran di hadapanku! Aku bertanya, “Apakah aku membacanya di hadapan engkau sedangkan Al-Qur’an ini diturunkan kepadamu?” Rasul berkata, “Aku suka kalau aku mendengarnya dari selainku.’

قَالَ : فَقَرَأْتُ النِّسَاءَ حَتَّى إِذَا بَلَغْتُ : {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ، وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا} قَالَ لِي: «كُفَّ أَوْ أَمْسِكْ» فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَذْرِفَانِ

Maka aku membaca surat An Nisa’, hingga aku sampai pada ayat, “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).
(QS. An Nisa : 41)

Rasulullah ﷺ berkata, “Cukuplah sampai di sini.’ Aku melihat kedua mata Rasulullah ﷺ berderai air mata.”
(HR Al Bukhari : 5055 dan Muslim : 800)

فَلَمْ يَقُلْ لَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ : صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ، وَلَمْ يَثْبُتْ ذَلِكَ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ولَمْ يَعْهَدْ عَنِ الصَّدْرِ الْأَوَّلِ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَتَلَفَّظُونَ بِذَلِكَ عِنْدَ الْاِنْتِهَاءِ مِنْ تِلَاوَتِهِمْ،

Dan Rasulullah ﷺ tidak memerintahkan Ibnu Mas’ud untuk membaca : Shadqallahul ‘adzim. Dan tidak ada hadits shahih dari Nabi ﷺ, juga amalan tersebut tidak dikenal pada masa para shahabat Radhiyallahu Anhum bahwasanya mereka membaca lafazh ini ketika selesai membaca Al Qur an.

لَمْ يُعْرَفْ ذَلِكَ عِنْدَ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنْ بَعْدِ الصَّحَابَةِ. إِذًا مَا بَقِيَ أَنْ نَقُوْلَ إِلَّا أَنَّهُ مُحْدَثٌ وَلَيْسَ فِيْهِ سُنَّةٌ تَجُوْزُ هَذَا الذِّكْرَ .

Juga tidak dikenal pada para salafushshalih setelah zaman para shahabat. Kalau begitu tinggallah kita katakan bahwa hal itu adalah sesuatu yang baru, dan tidak ada sunnah yang membolehkan menyebut lafazh ini.

قَالَتِ اللَّجْنَةُ الدَّائِمَةُ : قولُ القَائِلِ {صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيْمُ} في نَفْسِهَا حَقٌ، وَلَكِنْ ذِكْرُهَا بَعْدَ نِهَايَةِ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ بِاسْتِمْرَارِ بِدْعَةٌ، لِأَنَّهُا لَمْ تَحْصُلْ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا مِنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ فِيْمَا نَعْلَمُ مَعَ كَثْرَةِ قِرَاءَتِهِمُ الْقُرْآنَ،

Al-Lajnah Ad-Daimah berkata, “Bacaan shadqallahul ‘Adzim esensinya adalah benar. Akan tetapi, selalu mengucapkannya setelah selesai membaca Al-Qur’an itu bid’ah. Karena hal demikian tidak dilakukan oleh Nabi ﷺ juga tidak dilakukan oleh para Khalifah Ar-Rasyidin, sepengetahuan kami meskipun mereka banyak membaca Al-Qur’an.

وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لِيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ وفي رواية : مَنْ أَحْدَثَ في أَمْرِنَا هَذَا، مَا لَيْسَ مِنْهُ، فَهُوَ رَدٌّ

Dan sungguh itu telah tetap bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa yang melakukan sebuah amalan yang tidak ada perintah (agama) dari kami, maka itu tertolak ” Dan pada sebuah riwayat: “Siapa yang mengada-adakan pada urusan (agama) kami yang tidak ada perintahnya, maka itu tertolak.”
(Fatwa Lajnah Ad Daimah 4/118 no 4310)

 

Dinukil dari : Kitabul Adab, Fuad As Syalhub

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *