Hadiah disebutkan oleh Allah didalam Al Quran tentang kisah Ratu Saba memberi hadiah kepada Nabi Sulaiman alaihi salam.
Allah Ta’ala berfirman :
وَإِنِّي مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِم بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ
Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu”. (QS An Naml : 35).
Saling memberi hadiah adalah salah satu akhlak yang dianjurkan dalam syari’at yang mulia akan tetapi banyak yang mengabaikannya, atau kalau memberi hadiah pun mereka melakukannya karena ada maunya, ada udang dibalik batu. Padahal memberi hadiah itu suatu ibadah, yang sangat butuh kepada ikhlas, dalil yang menunujukan bahwa memberi hadiah adalah ibadah karena ia dianjurkan dan diperintahkan oleh syari’at sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Salinglah memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari, Al-Adab Al-Mufrod, : 594. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’, : 1601)
Dalam lafadz lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَصَافَحُوْا يَذْهَبُ الغِلُّ ، وتَهَادَوْا تَحَابُّوا ، وَتَذْهَبُ الشَحْنَاءُ
“Saling bersalamanlah (berjabat tanganlah) kalian, maka akan hilanglah kedengkian (dendam). Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai dan akan hilang kebencian.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’: 682).
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pun menerima hadiah dan pemberian, dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata :
«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menerima hadiah dan biasa pula membalasnya.” (HR. Bukhari : 2585), maksud membalas yakni membalas yang memberi hadiyah dengan hadiyah yang lain.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, Hukum memberi hadiyah adalah mustahab (dianjurkan) menurut para ahli ilmu. (Al Mughni 8/240).
Dibawah ini hukum yang berkaitan dengan hadiah :
[1] Saling memberi hadiah adalah ibadah karena ia diperintah dan di contohkan oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam dan sesuatu disebut ibadah apabila ada perintah, ada anjuran dan pujian bagi yang melakukannya.
[2] Hadiah memberikan pengaruh melembutkan hati dan menumbuhkan rasa saling mencintai.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Salinglah memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari, Al-Adab Al-Mufrod, : 594. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’, : 1601).
[3] Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menerima hadiah tapi tidak menerima sedekah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ سَأَلَ عَنْهُ: «أَهَدِيَّةٌ أَمْ صَدَقَةٌ؟»، فَإِنْ قِيلَ صَدَقَةٌ، قَالَ لِأَصْحَابِهِ: «كُلُوا»، وَلَمْ يَأْكُلْ، وَإِنْ قِيلَ هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بِيَدِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَكَلَ مَعَهُمْ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disodorkan makanan, beliau bertanya dahulu apakah makanan tersebut berasal dari hadiah ataukah sedekah. Kalau itu sedekah, beliau berkata, “Kalian makan saja makanan tersebut.” Namun kalau makanan tersebut adalah hadiah, maka beliau menyantapnya bersama para sahabatnya. (HR. Bukhari : 2576 dan Muslim : 1077)
Dalam lafadz lain, masih dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَلَا يَأْكُلُ الصَّدَقَةَ»
Adalah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menrima hadiah akan tetapi beliau tidak menerima sedekah” (HR Abu Dawud : 4512)
Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata :
كَانَ فِي بَرِيرَةَ ثَلَاثُ سُنَنٍ عَتَقَتْ فَخُيِّرَتْ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ وَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبُرْمَةٌ عَلَى النَّارِ فَقُرِّبَ إِلَيْهِ خُبْزٌ وَأُدْمٌ مِنْ أُدْمِ الْبَيْتِ فَقَالَ أَلَمْ أَرَ الْبُرْمَةَ فَقِيلَ لَحْمٌ تُصُدِّقَ بِهِ عَلَى بَرِيرَةَ وَأَنْتَ لَا تَأْكُلُ الصَّدَقَةَ قَالَ هُوَ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ
Pada Barirah terdapat tiga sunnah. Ia dimerdekakan, lalu diberi pilihan. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya hak waris kepemilikan budak (wala’) itu adalah bagi yang memerdekakan.” Kemudian suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk sementara periuk berada di atas api, lalu beliau pun disuguhkan roti beserta lauk. Maka beliau bersabda: “Bukankah tadi aku melihat periuk?” dikatakanlah pada beliau, “Periuk itu berisikan daging yang disedekahkan kepada Barirah, sementara Anda tidak makan sedekah.” Beliau bersabda: “Baginya sedekah, tetapi bagi kita adalah hadiah.” (HR Bukhari : 5097)
[4] Sedekah berbeda dengan hadiah, perbedaanya adalah kalau sedekah yang dinamakan juga zakat , pemberian karena Allah kepada orang yang membutuhkan, adapaun hadiah adalah pemberian dalam rangka merekatkan kecintaan.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
وَالصَّدَقَةُ وَالْهَدِيَّةُ مُتَغَايِرَانِ؛ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْكُلُ الْهَدِيَّةَ، وَلَا يَأْكُلُ الصَّدَقَةَ. وَقَالَ فِي اللَّحْمِ الَّذِي تُصُدِّقَ بِهِ عَلَى بَرِيرَةَ: «هُوَ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ، وَلَنَا هَدِيَّةٌ» فَالظَّاهِرُ أَنَّ مَنْ أَعْطَى شَيْئًا يَنْوِي بِهِ إلَى اللَّهِ تَعَالَى لِلْمُحْتَاجِ، فَهُوَ صَدَقَةٌ. وَمَنْ دَفَعَ إلَى إنْسَانٍ شَيْئًا لِلتَّقَرُّبِ إلَيْهِ، وَالْمَحَبَّةِ لَهُ، فَهُوَ هَدِيَّةٌ.
“Sedekah dan hadiah adalah dua hal yang berbeda, karena Nabi shalallahu alaihi wasallam belau makan hadiah akan tetapi tidak makan sedekah, dan beliau bersabda tentang daging sedekah milik Barirah (yang di berikan oleh Barirah kepada Rasulullah shalallahu alaih wasallam) , “Daging itu bagi Barirah sedekah tapi bagi kita dia adalah hadiah, maka yang Nampak (perbedaannya) bahwa pemberian sesuatu kepada orang yang membutuhkan dengan niat karena Allah maka ini namanya sedekah, adapaun memberi karena Allah dengan tujuan untuk menumbuhkan kecintaan maka ini namanya hadiah ” (Al Mughni 6/41)
[5] Memberi hadiah tidak harus banyak atau dengan sesuatu yang mahal. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memberikan nasehat kepada kaum muslimah dari kalangan para sahabiyat agar member hadiah walaupun dengan sesuatu yang sedikit :
«يَا نِسَاءَ المُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا، وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ»
“Wahai para wanita muslimah,janganlah menganggap remeh dengan member hadiah ke tetangga walaupun dengan kaki kambing ” (HR. Bukhari, no. 2566 dan Muslim, no. 1030)
Beliaupun menerima hadiah walaupun nilainya sedikit, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :
لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لأَجَبْتُ ، وَلَوْ أُهْدِىَ إِلَىَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ
“Kalau aku diundang untuk menghadiri undangan yang di situ disajikan dziro’ (paha), aku hadir sebagaimana pula ketika disajikan kuro’ (kaki). Kalau aku diberi hadiah dziro’ (paha), aku terima sebagaimana ketika diberi hadiah kuro’ (kaki).” (HR. Bukhari : 2568)
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وَخَصَّ الذِّرَاع وَالْكُرَاع بِالذِّكْرِ لِيَجْمَعَ بَيْن الْحَقِير وَالْخَطِير، لِأَنَّ الذِّرَاع كَانَتْ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ غَيْرهَا وَالْكُرَاع لَا قِيمَة لَهُ.
Dalam hadits diatas disebutkan paha dan kaki dalam rangka penggabungan antara berharga (mahal) dan tidak berharga (murah), karena paha (kambing) adalah yang paling disenangi Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dari bagian lainnya, sementara kaki (menunjukan) ketiada berhargaan” (Fathul Bari 5/199).
[6] Jangan nolak hadiah.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
أَجِيبُوا الدَّاعِىَ وَلاَ تَرُدُّوا الْهَدِيَّةَ وَلاَ تَضْرِبُوا الْمُسْلِمِينَ
“Penuhilah undangan, terimalah hadiah, janganlah menolaknya. Janganlah memukul kaum muslimin.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrod, no. 157; Ahmad, 1: 404 : 3838, di shahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’, no. 1616)
[7] Boleh menolak hadiah atau minta ganti seandainya yang dihadiahkan tidak cocok, walaupun menerimanya lebih utama. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Nabi shalallahu alaihi wasallam terhadap Abu jaham radhiayllahu anhu.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengenakan pakaian yang bergaris-garis, lalu beliau memandang kepada garis-garisnya sepintas. Maka, tatkala beliau selesai dari shalatnya, beliau bersabda,
«اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ، فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلاَتِي»
“Bawalah kainku ini kepada Abu Jahm dan bawalah (gantinya) untukku ambijaaniyah nya Abu Jahm, sesungguhnya kain ini telah melalaikan aku dari shalatku.” (HR Bukhari : 373)
[8] Boleh menerima hadiah dari lawan jenis selama tidak menimbulkan fitnah.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ: أَهْدَتْ أُمُّ حُفَيْدٍ خَالَةُ ابْنِ عَبَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقِطًا وسَمْنًا وَأَضُبًّا فَأَكَلَ مِنَ الأَقِطِ والسَّمْنِ وَتَرَكَ الضَّبَّ تَقَّذُّرًا وَأَكَلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata, “Bibiku Ummu Hufaid pernah memberikan hadiah kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berupa mentega, keju dan daging dhabb (sejenis biawak). Beliau makan keju dan menteganya, dan beliau meninggalkan daging biawak karena merasa jijik, kemudian makanan yang dihidangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimakan (oleh para shahabat). Jika (dhabb itu) haram, niscaya kami tidak akan makan hidangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari : 2575 dan Muslim : 1544)
Dari Abdullah bin Busr radhiyallahu anhu ia berkata, saudara perempuanku menyuruhku untuk mengirimkan hadiah kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam lalu beliaupun menerima hadiah tersebut” (HR Ahmad 29/234 no 17687, para pentahqiq musnad mengatakan sanadnya hasan).
[9] Tidak boleh meminta lagi hadiah yang sudah diberikan.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَائِدُ فِى هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِىءُ ، ثُمَّ يَعُودُ فِى قَيْئِهِ
“Orang yang meminta kembali hadiahnya seperti anjing muntah lalu menelan muntahannya sendiri.” (HR. Bukhari : 2589 dan Muslim : 1622)
Larangan ini dikecualikan bagi seorang ayah yang menarik kembali hadiah atau pemberian kepada anaknya.
Dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِىَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيهَا إِلاَّ الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِى وَلَدَهُ وَمَثَلُ الَّذِى يُعْطِى الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَأْكُلُ فَإِذَا شَبِعَ قَاءَ ثُمَّ عَادَ فِى قَيْئِهِ
“Tidak halal bagi seseorang memberikan suatu pemberian kemudian ia memintanya kembali kecuali ayah pada apa yang ia berikan kepada anaknya (maka boleh diminta kembali). Permisalan orang yang memberi hadiah lantas ia memintanya kembali seperti anjing yang makan, lalu ketika ia kenyang, ia muntahkan, kemudian ia menelan muntahannya.” (HR. Abu Daud : 3539; Tirmidzi : 1299).