BERPUASA TAPI TIDAK TAHU MALU KEPADA ALLAH

Oleh : Abu Ghozie As Sundawie

Orang yang berpuasa hanya menahan lapar dan dahaga saja adalah hakekatnya orang yang tidak tahu malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.

Sebuah hadits yang selayaknya jadi bahan renungan kita khususnya bagi yang sedang berpuasa :

▶ Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

«اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الحَيَاءِ». قَالَ: قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالحَمْدُ لِلَّهِ، قَالَ: «لَيْسَ ذَاكَ، وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى، وَالبَطْنَ وَمَا حَوَى، وَلْتَذْكُرِ المَوْتَ وَالبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الحَيَاءِ»

“Malulah kepada Allah dengan sebenar-benar malu”,

ia berkata, “Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami sudah benar-benar malu kepada Allah, Alhamdulillah”,

Beliau menjawab, “Bukan seperti itu, akan tetapi malu kepada Allah yang benar itu adalah dengan :

• Memelihara kepala dan apa yang ada disekitarnya
• Memelihara perut dan apa yang berhubungan dengannya
• Mengingat mati dan kehancurannya

Siapa saja yang menghendaki akhirat maka hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Siapa saja yang telah melakukan itu semua, maka ia sungguh telah malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu.
(HR Tirmidzi : 2458, disahihkan oleh Al Albani didalam Shahih Sunan tirmidzi 2/590)

▶ Al Mubarakfuri rahimahullah mengatakan tentang maksud hadits diatas :

أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ أَيْ عَنِ اسْتِعْمَالِهِ فِي غَيْرِ طَاعَةِ اللَّهِ بِأَنْ لَا تَسْجُدَ لِغَيْرِهِ وَلَا تُصَلِّيَ لِلرِّيَاءِ وَلَا تَخْضَعَ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ وَلَا تَرْفَعَهُ تَكَبُّرًا وَمَا وَعَى أَيْ جَمَعَهُ الرَّأْسُ مِنَ اللِّسَانِ وَالْعَيْنِ وَالْأُذُنِ عَمَّا لَا يَحِلُّ اسْتِعْمَالُهُ وَتَحْفَظَ الْبَطْنَ أَيْ عَنْ أَكْلِ الْحَرَامِ وَمَا حَوَى أَيْ مَا اتَّصَلَ اجْتِمَاعُهُ بِهِ مِنَ الْفَرْجِ وَالرِّجْلَيْنِ وَالْيَدَيْنِ وَالْقَلْبِ فَإِنَّ هَذِهِ الْأَعْضَاءَ مُتَّصِلَةٌ بِالْجَوْفِ وَحِفْظُهَا بِأَنْ لَا تَسْتَعْمِلَهَا فِي الْمَعَاصِي بَلْ فِي مَرْضَاةِ اللَّهِ تَعَالَى

“Agar menjaga kepala jangan digunakan pada perkara bukan ketaatan, seperti :

▪Sujud kepada selain Allah
▪ Janganlah shalat karena riya
▪ Jangan merendahkan kepala untuk selain Allah
▪ Jangan mengangkat kepala karena sombong
▪ Menjaga apa yang ada disekitar kepala yaitu lisan, mata, telinga dari perkara yang tidak halal menggunakannya.

▪Menjaga perut yakni dari memakan yang haram.

Adapun makna yang ada disekitar perut yaitu :

Anggota badan yang menyambungkan ke perut kemaluan, dua tangan, dua kaki dan hati, semua anggota badan ini menyambungkan ke rongga mulut.

Maka peliharlah agar tidak menggunakannya untuk kemaksiatan tapi untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala”
(Tuhfatul Ahwadzi, syarah Sunan Tirmidzi 7/155).

♡ Keutamaan menjaga lisan dan kemaluan sangatlah besar, berupa jaminan Surga dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.

Dari Sahal bin Sa’ad dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam beliau bersabda :

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الجَنَّةَ

“Siapa yang mampu menjamin untuk ku (dengan menjaga) antara dagunya (lisan) dan antara kedua kakiknya (kemaluan) maka aku jamin ia Surga”
(HR Bukhari : 6474).

Oleh karenanya yang paling banyak menjerumuskan manusia ke neraka juga adalah lisannya, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ketika ditanya apa yang banyak menyebabkan orang masuk neraka, beliau shalallahu alaihi wasallam menjawab :

الْأَجْوَفَانِ الْفَمُ، وَالْفَرْجُ

“Dua lubang berongga yaitu mulut (lisan) dan kemaluan”
(HR Tirmidzi : 2004, disahihkan oleh Al Albani pada Shahih Sunan Tirmidzi 2/379).

Pastikan lisan anda terjaga ketika sedang berpuasa dari

⛔ Berkata dusta

⛔ Ghibah

⛔ Namimah

⛔ Bersumpah palsu

⛔ Mencela

⛔ Melaknat

⛔ Menghina

⛔ Demikian juga mata dari melihat yang haram, film, sinetron, wanita yang bukan mahram
⛔ Demikian juga telinga dari mendengar perkara yang haram, musik, dusta, ghibah, yang semua itu hanyalah akan merusak dan menghancurkan pahala ibadah puasa kita.

Walaupun secara hukum puasanya tetap sah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu , Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dosa dan mengamalkan dengannya, maka Allah tidak butuh dari menahan makannya dan minumnya (puasanya)”
(HR Bukhari : 6057).

Mereka lah kaum yang puasanya tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lapar dan dahaga saja.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إلَّا الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إلَّا السَّهَرُ

Berapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan pahala dari puasanya kecuali hanya rasa lapar saja, demikian juga berapa banyak orang yang tarawih sementara tidak mendapatkan dari ibadah tarawihnya kecuali hanya begadang saja”
(HR Ibnu Khuzaimah : 1997, Ibnu Majah : 1690, di sahihkan oleh Al Albani di shahih Sunan Ibnu Majah 2/71)

Maka puasa hakekatnya bukan sekedar menahan makan dan minum saja, tapi puasa anggota badan kita dari melakukan dan menggunakannya pada perkara yang diharamkan, inilah hakekat puasa.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ

“Puasa itu bukan sekedar dari menahan makan dan minum saja, akan tetapi menahan dari perbuatan sia-sia dan perkataan dosa”
(HR Ibnu Khuzaimah : 1996, syaikh Al Albani mengatakan sanadnya shahih, lihat shahih Ibnu Khuzaimah 3/242).

Jabir bin Abdillah radhiyallahu menasihatkan kepada kita :

إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنِ الْكَذِبِ وَالْمَآثِمِ، وَدَعْ أَذَى الْخَادِمِ وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِينَةٌ يَوْمَ صِيَامِكَ، وَلَا تَجْعَلْ يَوْمَ فِطْرِكَ وَيَوْمَ صِيَامِكَ سَوَاءً

Apabila engkau berpuasa maka puasalah pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu dari berkata dusta dan dosa, jangan menyakiti pembantu, hendaklah pada hari puasamu engkau bersikap tenang , jangan jadikan antara dan tidak puasa itu keadannya sama”
(HR Ibnu Abi Syaibah : 8880, Lathoiful Ma’arif, hal. 292 )

Sebagian ulama salaf berkata :

أَهْوَنُ الصِّيَامِ تَرْكُ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ

Puasa yang paling ringan adalah menahan makan dan minum”
(Lathoiful Ma’arif, Ibnu Rajab, hal. 292).

Diantara acara televisi yang banyak diminati kaum muslimin dan menempati rating tertinggi adalah acara acara GOSIP, yang lebih tepatnya dalam syariat dinamakan ghibah.

Inilah salah satu kerusakan dari acara-acara televisi selain acara acara lain yang jauh lebih parah seperti acara musik, film dan sinetron, klenik, perdukunan, sampai acara yang sarat dengan kesyirikan dan kebid’ahan dikemas dengan apik sehingga kemungkaran menjadi tersamarkan.

Nabi shalallahu alaihi wasallam menjelaskan definisi ghibah sebagaimana ketika beliau bertanya kepada para sahabatnya :

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوْا: اَللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Tahukah kalian apa itu ghibah (menggunjing)?.

Para sahabat menjawab : Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.

Kemudian beliau bersabda : Ghibah adalah engkau membicarakan tentang saudaramu sesuatu yang dia benci.

Ada yang bertanya. Wahai Rasulullah bagaimana kalau yang kami katakana itu betul-betul ada pada dirinya?.

Beliau menjawab : Jika yang kalian katakan itu betul, berarti kalian telah berbuat ghibah. Dan jika apa yang kalian katakan tidak betul, berarti kalian telah memfitnah (mengucapkan suatu kedustaan).
(HR Muslim)

Imam Nawawi mendefinisikan makna ghibah sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani :

وَقَالَ النَّوَوِيُّ فِي الْأَذْكَارِ تَبَعًا لِلْغَزَالِيِّ ذِكْرُ الْمَرْءِ بِمَا يَكْرَهُهُ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ فِي بَدَنِ الشَّخْصِ أَوْ دِينِهِ أَوْ دُنْيَاهُ أَوْ نَفْسِهِ أَوْ خَلْقِهِ أَوْ خُلُقِهِ أَوْ مَالِهِ أَوْ وَالِدِهِ أَوْ وَلَدِهِ أَوْ زَوْجِهِ أَوْ خَادِمِهِ أَو ثَوْبه أَو حركته أَو وطلاقته أَو عبوسته أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يَتَعَلَّقُ بِهِ سَوَاءٌ ذَكَرْتَهُ بِاللَّفْظِ أَوْ بِالْإِشَارَةِ وَالرَّمْزِ

Imam Nawawi berkata dalam kitab Al-Adzkar mengikuti pandangan Al-Ghazali bahwa ghibah adalah menceritakan tentang seseorang dengan sesuatu yang dibencinya baik badannya, agamanya, dirinya (fisik), perilakunya, hartanya, orang tuanya, anaknya, istrinya, pembantunya, raut mukanya yang berseri atau masam, atau hal lain yang berkaitan dengan penyebutan seseorang baik dengan lafad (verbal), tanda, ataupun isyarat.
(Fathul Bari Syarah Bukhari 10/391)

Ghibah sendiri disebutkan keburukannya didalam Al Quran, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.

Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.

Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.

Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
(QS al Hujurat : 12)

Imam al Qurthubi rahimahullah berkata :

مَثَّلَ اللَّهُ الْغِيبَةَ بِأَكْلِ الْمَيْتَةِ، لِأَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَعْلَمُ بِأَكْلِ لَحْمِهِ كَمَا أَنَّ الْحَيَّ لَا يَعْلَمُ بِغِيبَةِ مَنِ اغْتَابَهُ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّمَا ضَرَبَ اللَّهُ هَذَا الْمَثَلَ لِلْغِيبَةِ لِأَنَّ أَكْلَ لَحْمِ الْمَيِّتِ حَرَامٌ مُسْتَقْذَرٌ، وَكَذَا الْغِيبَةُ حَرَامٌ فِي الدِّينِ وَقَبِيحٌ فِي النُّفُوسِ.

Allah Ta’ala mempermisalkan ghibah dengan memakan bangkai, karena mayyit tidak di ketahui memakan dagingnya sendiri, sebagaimana orang hidup (seharusnya) tidak mengghibah orang lain.

Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Sesungguhnya Allah membuat permisalan ghibah (dengan makan bangkai), karena memakan bangkai adalah haram lagi menjijikan, demikian juga ghibah haram menurut agama, dan kotor dalam jiwa”
(Tafsir Al-Qurtubi 16/346)

Dalam sunnah pun disebutkan beratnya hukuman ghibah, diantaranya :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَمَّا عُرِج بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ، يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرَائِيلُ ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ، وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ”.

Dari Anas bin Malik ia berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

“Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Maka aku bertanya :

”Siapakah mereka ya Jibril?” Jibril berkata :

”Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”.
(HR Ahmad dan Abu Dawud)

Jabir bin ‘Abdullah mengatakan :

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَارْتَفَعَتْ رِيحُ جِيفَةٍ مُنْتِنَةٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَتَدْرُونَ مَا هَذِهِ الرِّيحُ؟ هَذِهِ رِيحُ الَّذِينَ يَغْتَابُونَ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya: Kami pernah bersama Nabi tiba-tiba tercium bau busuk yang tidak mengenakan. Kemudian Rasululloh bersabda,

‘Tahukah kamu, bau apakah ini? Ini adalah bau orang-orang yang mengghibah (menggosip) kaum mu’minin.
(HR Ahmad, shahih At targhib : 2840).

Oleh karena itu ghibah adalah dosa besar yang tidak bisa digugurkan dengan shalat, puasa, tapi membutuhkan taubat secara khusus kepada Allah dan juga meminta maaf kepada orang yang telah di ghibahinya karena ia berhubungan dengan dosa dan kedzaliman kepada orang lain.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan :

الغيبة من الكبائر التي لا تكفرها الصلاة ولا الصدقة ولا الصيام ولا الحج

“Ghibah adalah diantara dosa besar yang tidak bisa digugurkan dengan shalat, shadaqah, puasa tidak pula dengan haji”
(Syarah Riyadhus shalihin 6/109).

Apa yang Harus Dilakukan Jika Terlanjur Ghibah?

Jika seseorang terlanjur berbuat ghibah, maka yang harus dia lakukan :

[1] Memohon ampunan kepada Allah atas perbuatan dosa ghibah yang telah dia lakukan.

[2] Memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang yang dia ghibahi dan mendoakan kebaikan untuknya.

[3] Bertekad kuat untuk tidak melakukan ghibah lagi.

❗ Apakah harus menyampaikan kepada orang itu bahwa ia telah dighibahi dan minta dihalalkan darinya?

🔴 Yang benar adalah :
Jika orang itu mengetahui bahwa kita telah berbuat ghibah terhadapnya, maka kita meminta maaf kepadanya.

🔵 Namun jika ia tidak mengetahuinya, maka tidak perlu kita sampaikan kepadanya bahwa kita telah berbuat ghibah terhadapnya.

Ibnul Mubarak rahimahullah menyatakan :

إِذَا اغْتَابَ رَجُلٌ رَجُلًا، فَلَا يُخْبِرْهُ بِهِ وَلَكِنْ يَسْتَغْفِرُ اللهَ

Jika seseorang berbuat ghibah kepada orang lain, janganlah ia beritahukan kepadanya. Akan tetapi hendaknya ia beristighfar (memohon ampunan) kepada Allah
(HR Baihaqi, Syu’abul Iman 9/123 no 6367).

Demikian semoga kita terjaga dari perbuatan ghibah, dan dapat menjaga ibadah puasa kita.

Wallahu a’lam.

____🌷

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *