Oleh : Abu Ghozie As Sundawie
Bismillah. Assalamu’alaikum, Ustadz. Mau bertanya, bagaimana sikap kita terhadap orang Syi’ah ? Apakah kita bersikap ramah seperti kepada non muslim lainnya tapi minus ucap salam atau bagaimana? Jazakallahu khoiron.
JAWAB :
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Barokallahu fik Akhuna Adib semoga istiqamah. Dalam masalah ini perlu diperinci sebagai berikut :
[1] Bermu’amalah dengan orang syi’ah berbeda sesuai dengan kondisi kebid’ahannya. Karena Agama syi’ah itu bersekte sekte sampai ratusan sekte, dan kesesatannya pun bertingkat tingkat. Ada yang menuhankan Ali, ada yang mengatakan malaikat Jibril keliru ngirim wahyu, ada yang mengatakan khalifah Abu Bakar, Umar Utsman itu tidak sah tapi yang berhak adalah Ali, ada yang mengkafirkan Abu Bakar dan sahabat yang lain, yang paling ringan dari syi’ah adalah yang mengatakan bahwa Ali lebih utama dari khlaifah yang tiga, maka sekte ini tidak dikafirkan hanya sesat saja (tapi sekarang mana ada syi’ah yang tidak mengkafirkan sahabat ?) Terlepas dari beragamnya sekte syi’ah diatas, Sesesat apapun agama syi’ah tetap para ulama masih memasukan mereka kepada kelompok ahlul kiblat artinya dihukumi orang yang menisbatkan kepada islam secara dzahir.
[2] Kebid’ahan itu ada dua yaitu kebid’ahan yang menyebabkan pelakunya kafir keluar dari Islam dan ada yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari islam. Dari sisi hukumnya maka kebid’ahan itu ada yang Mukafirah (berkonsekwensi kafir) dan ada yang Mufasiqah (berkonsekwensi fasik saja tidak kafir). Ditinjau dari jenis perbuatannya ada bid’ah dalam masalah aqidah, yaitu meyakini sesuatau yang tidak diyakini oleh rasulullah dan para sahabatnya dan ada bid’ah dalam masalah ibadah, yaitu melakukan amalan ibadah yang tidak dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
[3] Apabila orang syi’ah yang kebid’ahan mereka Mukafirah, seperti ekstrim dalam mengagungkan Ali, Fathimah, Al-hasan dan Al-Husain radliyallahu anhum sampai tarap menyembah dan berdo’a kepada mereka, meminta dan beristighotsah kapada mereka apalagi kalau meyakini bahwa Ali adalah ilah yang wajib disembah, atau kalau mereka meyakini bahwa Al-Qur’an sudah tahrif (berubah) , atau meyakini para Imam tahu perkara ghaib, atau mencela atau mengkafirkan seluruh atau kebanyakan para sahabat atau mengkafirkan Abu Bakar dan Umar radliyallahu anhum maka hukumnya mereka adalah Kafir lagi murtad maka dalam kondisi ini bermu’amalah kpada mereka seperti mu’amalah dengan orang kafir yaitu tidak memulai salam, akan tetapi kalau jawab salam mereka maka boleh kalau orang awamnya adapun tokoh dan pentolannya maka tidak dijawab salam mereka. Demikian juga tidak menikahkan anak kita dengan mereka, tidak makan sembelihan mereka, wajib membencinya sehingga mereka beriman hanya kepada Allah saja dan meninggalkan kebid’ahan mereka yang membuat keluar dari Islam.
[4] Apabila bid’ahnya sebatas bid’ah mufasiqah maka dilihat dulu apakah mereka menyeru kepada kebid’ahannya ? maka lebih utama untuk menjauhinya bagi yang dikhawatirkan pengaruh buruk kepada dirinya, sebagai bentuk penjagaan terhadap aqidah dan agama kita. Ibnu Muflih rahimahullah berkata, “ Imam Ahmad berkata, “ wajib untuk menghajer (menjauh, mengisolir) pelaku bid’ah yang mukafirah atau mufasiqah atau orang yang menyeru kepada bid’ahnya yang menyesatkan atau membuat kefasikan bagi yang tidak mampu membantah kesesatannya” (Kitab Adabus Syari’ah)
[5] Bagi yang mampu untuk membantah kesesatannya terhadap yang menyeru kepada kebid’ahannya, maka nasehati dengan cara yang baik, sebagai bentuk pengamalan mengingkari kemunkaran, akan tetapi kalau tetap bersikeras dalam kebid’ahannya, fanataik atau malah timbul takabbur terhadap kebenaran maka disyari’atkan untuk di hajer , jauhi saja tidak di jenguk kalau sakit, tidak di iringi jenazahnya kalau mati, tidak melakukan safar bareng mereka karena hanya akan menimbulkan kemudaratan terhadap agama kita.
Asy-Syaukani Rahimahullah berkata :
يُسْتَحَبُّ تركُ السلام على أهل البدع والمعاصي الظاهرة؛ تحقيراً لهم وزجراً
“Dianjurkan untuk meninggalkan salam terhadap ahlul bida’ dan pelaku makshiyat yang terang terangan (termasuk yang mengajak kepada bid’ah dan makshiyatnya) sebagai bentuk merendahkan dan peringatan atas mereka”
[6] Adapaun bagi yang tidak menyeru kepada kebid’ahannya seperti orang awamnya dimana mereka masuk syi’ah hanya ikut ikutan , karena kebodohannya maka mensikapi mereka adalah sebagaimana yang dikatakan oleh syaikhul Islam :
فَأَمَّا مَنْ كَانَ مُسْتَتِرًا بِمَعْصِيَةٍ، أَوْ مُسِرًّا لِبِدْعَةٍ غَيْرِ مُكَفِّرَةٍ، فَإِنَّ هَذَا لَا يُهْجَرُ، وَإِنَّمَا يُهْجَرُ الدَّاعِي إلَى الْبِدْعَةِ؛ إذْ الْهَجْرُ نَوْعٌ مِنْ الْعُقُوبَةِ، وَإِنَّمَا يُعَاقَبُ مَنْ أَظْهَرَ الْمَعْصِيَةَ قَوْلًا أَوْ عَمَلًا،
Adapun kalau melakukan bid’ah yang bukan mukafirah , bermaksiyat secara sembunyi atau tertutup, maka sesungguhnya mereka ini tidak di hajer, akan tetapi yang di hajer itu hanyalah yang menyeru kepada bid’ahnya, karena hajer itu hanyalah bentuk hukuman, sementara hukuman itu diberlkakukan bagi yang terang terangan dalam dosa baik perbuatan ataupun ucapan (Majmu’ Fatwa, Ibnu Taimiyah)
Imam Ghozali rahimahullah berkata :
المبتدع العامي -الذي لا يقدر على الدعوة، ولا يُخَافُ الاقتداء به- فأمره أهون، فالأولى ألا يُقَابَحَ بالتغليظ والإهانة، بل يُتَلَطَّفُ به في النصح، فإن قلوب العوام سريعة التقلب”.
Pelaku bid’ah yang awam yang tidak mampu berdakwah kepada bid’ahnya yang tidak dikhawatirkan akan diikuti kebid’ahannya maka perkaranya lebih ringan maka lebih baik agar mereka tidak di sikapi keras dan dilecehkan akan tetapi berlemah lembutlah dalam memberi nasihat, karena hati orang awam itu lebih mudah berubah (dari hati para tokohnya)” (Ihya ‘Ulumud Diin, Imam Ghozali)
Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
عاملْهم بما يعاملونك به، وادْعُهم إلى الحق، كل صاحب بدعة عاملْه بما يعاملُك به، وادْعُه إلى الحق، فكثيرٌ من أتباع أئمة أهل البدع لا يعلمون أنهم على بدعة، يُحْسِنون الظن بمتبوعيهم ولا يَدْرُون، لو ناقشتهم بهدوءٍ، وبَيَّنْتَ لهم الحق رجعوا، فيجب أن نفرق بين الداعية إلى البدعة، وبين المُقَلِّد العامي، الذي لا يَعْرِفُ، وعلى كلٍ؛ فإننا نعاملُهم على ما يعاملوننا به، لكننا ندعوهم إلى الحق، ونُبَيِّن لهم الضلال الذي هم عليه من البدع، ولعل الله أن يهديهم”.
Bermuamalah lah kepada mereka sebagaimana mereka bermuamalah, dan ajaklah mereka kepada kebenaran, setipa pelku bid’ah mensikapinya adalah sebagaimana mereka bermuamalah kepada kita, kebanyakan para pengikut tokoh ahlul bid’ah itu tidak mengetahui bahwa mereka berada diatas kebid’ahan, mereka berbaik sangka kepada para tokoh yang diikutinya tanpa mereka tahu ilmunya, seandainya kita berdiskusi dengan santun lalu engkau jelaskan kebenaran mereka akan kembali maka wajib kita bedakan antara orang yang menyeru kepada kebid’ahan dengan orang awam yang hanya sebagai pengikut saja mereka tidak tahu. Intinya kita bermuamalah dengan mereka sebagaimana mereka bermualah dengan kita (kalau baik maka kitapun baik) akan tetapi kita harus menyeru mereka kepada kebenaran, dan menjelaskan kesesatan dan penyimpangannya semoga Allah memberikan hidayah-Nya
KESIMPULAN :
Bermualah (bergaul) dengan orang syi’ah adalah perlu diperinci kalau syi’ah yang ekstrim maka dihukumi kafir dan bermuamalah seperti kepada orang kafir, demikian juga kalau ia sebagai tokohnya atau penyerunya, adapun orang awamnya maka bermuamalah sebagaimana bermuamalah dengan orang munafik yaitu kalau baik maka kita baik, lalu jangan lupakan tetap ber nasihat dan ajak kepada kebenaran.
Syaikh Bin Baaz rahimahullah berkata :
تنصحهم وتوجههم إلى الخير وتعلمهم أن الـرفض لا يجوز وأن الواجب محبة علي والترضي عنه لكن من دون غلو، لا يقال: إنه يعلم الغيب ولا إنه معصوم ولا يُدعى مع الله ولا يُستغاث به، وهكـذا فاطمة وهكذا الحسن وهكذا الحسين وهكذا جعفر الصادق وغيرهم، تعلّمهم أن هذا هو الواجب، تنصحهم فإذا أصروا على البدعة فعليك أن تهجرهم ولو أنهم معك في العمل تهجرهم ولا ترد عليهم السلام ولا تبدأهم بالسلام. أما إذا لم يظهروا بدعتهم ووافقوك على الظاهر فحكمهم حكم المنافقين تعاملهم معاملة المنافقين لا حرج، مثل ما عامل النبي صلى الله عليه وسلم المنافقين في المدينة من أظهر الإسلام وكف عن الشر يُعامل معاملة المسلمين وأمره إلى الله في الباطن (من أسئلة حج عام 1415هـ شريط 49/6)
Nasehatilah mereka dan arahkan kepada kebenaran, ajarkan mereka bahwa ajaran syi’ah Rafidha itu adalah keliru, (memang) wajib bagi kita untuk cinta Ali dan mendo’akan ridla kepada nya tanpa berlebihan, jangan katakan Ali tahu ghaib, jangan mengatakan bahwa Ali adalah ma’shum tidak pernah salah dan dosa, tidak boleh beristighotsah kepada Ali demikian juga kepada Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain Radliyallahu ‘anhum, demikian juga kepada Ja’far shadiq rahimahullah dan selain mereka, ajarkan kepada mereka bahwa ini (cinta kepada Ali dan ahlul bait) adalah wajib, nasihati mereka, kalau ternyata mereka tetap bersikukuh pada bid’ahnya, maka hajerlah (isolirlah) walaupun mereka satu tempat pekerjaan dengan mu, jangan jawab salam mereka dan jangan mulai salam kepada mereka. Adapun bagi yang tidak menampakan kebid’ahannya, dan ia sesuai dengan mu dalam hal dzahirnya, maka hukum mereka seperti orang munafik (orang yang menmpakan keislaman akan tetapi menyembunyikan kekufuran), maka bermuamalah dengan mereka seperti bermuamalah dengan orang munafik tidak mengapa. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam kepada orang orang munafik di madinah, bermuamalah (bergaul) dengan mereka apa yang nampak dari mereka berupa keislaman, maka memperlakukannya seperti orang islam, adapun urusan hati kita serahkan kepada Allah” (Kumpulan soal jawab musim haji tahun 1415 H kaset 6/49).
Imam Madzhab yang empatpun mereka sepakat semuanya bahwa boleh shalat bermakmum kepada semua ahlil bid’ah kecuali orang rafidhah tidak boleh shalat di belakang mereka. Pembahasan yang sangat bagus tentang masalah yang ditanyakan silahkan kunjungi : http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=346965. disana dibahas secara rinci tentang berinteraksi dengan orang syi’ah seperti shalat dibelakang orang syi’ah, mengantar jenazah orang syi’ah, mengambil riwayat atau fatwa dari orang syi’ah, dll. Wallahu a’lam.