Rukyatullah artinya melihat Allah dan yang dimaksud dengannya adalah keyakinan bahwa orang yang beriman akan melihat Allah di Surga kelak pada hari kiamat, bahkan anugerah yang paling besar bagi penduduk Surga adalah memandang wajah Allah Ta’ala, hal ini sebagai balasan atas keimanan mereka dan kecintaan serta kerinduan mereka kepada Allah Ta’al.
Dalam sebuah untaian doa Nabi shalallahu alaihi wasallam disebutkan :
أَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ
“Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu” [1]
Dari Shuhaib bin Sinan radhiyallahu anhu ia berkata, ‘Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، قَالَ: يَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا؟ أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ، وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ؟ قَالَ: فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ، فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ تلا هذه الآيةِ {لِلَّذِيْنَ أَحْسَنُوْا الْحُسْنَى وَزِّيَادَةٌ}
“Apabila penduduk surga sudah memasuki surga, maka Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman kepada mereka, “Maukah Aku tambahkan sesuatu (nikmat) atas kalian ?”, maka penduduk Surga pun mengatakan, ‘Bukankah telah Engkah putihkan wajah kami?, bukankah Engkau telah masukan kami ke dalam Surga dan menyelamatkan kami dari api Neraka?. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Maka tersingkaplah hijab, sehingga tiada yang diberikan dari nikmat surga yang paling disukai oleh mereka dari memandang kepada Rabb mereka’. Kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wasallam membacakan Firman Allah, “Dan bagi orang orang yang berbuat kebajikan balasannya adalah Surga dan Tambahannya” [2]
Keyakinan terhadap Ru’yatullah telah ditetapkan berdasarkan Al Quran, As Sunnah yang shahihah bahkan hadits hadits tentang Ru’yah mencapai derajat Mutawatir, serta berdasarkan Ijma (konsensus) para ulama ahlus sunnah wal jama’ah. Tidak ada yang berselisih diantara mereka kecuali kalangan yang menyimpang dari kelompok ahli bid’ah seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah, Rafidhah, Khowarij diantaranya kelompok Ibadhiyah, sebagian dari kelompok Murji’ah mereka mengingkari Rukyatullah, adapun kalangan Asy’ariyyah mereka menetapkan Rukyatullah namun menafikan Arah (jihah), yakni meyakini Allah bisa dilihat namun tidak pada satu arah, tentu hal ini sebuah kontradiksi yang mengherankan. [3]
Dalil dalil dari Al Quran
Adapun dalil dalil menurut Ahlus sunnah dalam menetapkan Rukyatullah adalah Firman Allah Ta’ala :
{وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ}
Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri kepada Tuhannyalah mereka melihat”. [4]
Dalam ayat yang mulia diatas, Lafadz Nadzara (melihat) di sambungkan dengan kata sambung Ila (kepada) yang menunjukan arti melihat dengan mata kepala bukan melihat dengan hati dan tidak bisa pula diartikan dengan menunggu. Apalagi hal ini dikuatkan dengan sabda nabi shalallahu alaihi wasallam :
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عِيَانًا
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan mata telanjang” [5]
Allah Ta’ala juga telah berfirman :
{لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ}
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya .”[6]
Yang dimaksud dengan Ziyadah (tambahan) nikmat bagi penduduk Surga pada ayat diatas adalah sebagaimana yang di tafsirkan oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam, “Apabila penduduk surga sudah memasuki surga, maka Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman kepada mereka, “Maukah Aku tambahkan sesuatu (nikmat) atas kalian ?”, maka penduduk Surga pun mengatakan, ‘Bukankah telah Engkah putihkan wajah kami?, bukankah Engkau telah masukan kami ke dalam Surga dan menyelamatkan kami dari api Neraka?. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Maka tersingkaplah hijab, sehingga tiada yang diberikan dari nikmat surga yang paling disukai oleh mereka dari memandang kepada Rabb mereka’. Kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wasallam membacakan Firman Allah, “Dan bagi orang orang yang berbuat kebajikan balasannya adalah Surga dan Tambahannya” [7]
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam juga bersabda :
«لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْعَمَلَ فِي الدُّنْيَا الْحُسْنَى وَهِيَ الْجَنَّةُ، وَالزِّيَادَةُ النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ الْكَرِيمِ تَعَالَى»
“Bagi orang yang beramal kebaikan didunia akan dibalas dengan balasan yang paling baik yaitu Surga, dan Tambahannya adalah memandang kepada wajah Allah yang Mulia lagi maha tinggi” [8]
Ibnu Umar radhiyallahu anhuma mengatakan :
أَكْرَمُ أَهْلِ الْجَنَّةِ عَلَى اللَّهِ مَنْ يَنْظُرُ إِلَى وَجْهِهِ غُدْوَةً وَعَشِيَّةً، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ: وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ ناضِرَةٌ. إِلى رَبِّها ناظِرَةٌ
“Kenikmatan yang paling mulia bagi penduduk Surga adalah melihat wajah Rabb nya setiap pagi dan petang, lalu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam membaca ayat ini “Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri kepada Tuhannyalah mereka melihat”. [9]
Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata :
قَوْلُهُ تَعَالَى: (لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنى وَزِيادَةٌ) رُوِيَ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى:” وَزِيادَةٌ” قَالَ: (لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْعَمَلَ فِي الدُّنْيَا لَهُمُ الْحُسْنى وَهِيَ الْجَنَّةُ وَالزِّيَادَةُ النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ الْكَرِيمِ) وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فِي رِوَايَةٍ.
Firman Allah “Bagi orang yang berbuat kebajikan akan mendapatkan balasan yang paling baik dan Tambahannya” Telah diriwayatkan dari hadits Anas Ia berkata, ‘Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ditanya tentang Firman Allah ‘Dan mendapatkan Tambahannya’ Beliaupun bersabda, ‘Bagi orang yang beraal kebaikan di dunia, maka bagi mereka balasan yang lebih baik yaitu berupa Surga, dan Tambahannya berupa memandang kepada Wajah Allah yang Mulia, dan ia perkataan Abu Bakar As Shiddiq, dan Ali bin Abi Thalib pada salah satu riwayat. [10]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
وَأَفْضَلُ مِنْ ذَلِكَ وَأَعْلَاهُ النظرُ إِلَى وَجْهِهِ الْكَرِيمِ، فَإِنَّهُ زِيَادَةٌ أَعْظَمُ مِنْ جَمِيعِ مَا أُعْطُوهُ، لَا يَسْتَحِقُّونَهَا بِعَمَلِهِمْ، بَلْ بِفَضْلِهِ وَرَحْمَتِهِ وَقَدْ رُوِيَ تَفْسِيرُ الزِّيَادَةِ بِالنَّظَرِ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ الْكَرِيمِ، عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ، وَحُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ
” (Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di surga adalah memandang wajah Allah yang maha mulia, karena inilah “tambahan” yang paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allah berikan kepada para penghuni surga. Mereka berhak mendapatkan kenikmatan tersebut bukan (semata-mata) karena amal perbuatan mereka, tetapi karena karunia dan rahmat Allah. Dan diriwayatkan dari Abu bakar As Shidiq, Hudzaifah bin Al Yaman, dan Ibnu Abbas bahwa tafsir kata Ziayadah (tambahan) adalah memandang kepada wajah Allah yang mulia” [11]
Ubay bin Ka’ab radhiyallahu anhu bertanya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tentang Firman Allah : Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya”, Maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjawab :
الْحُسْنَى: الْجَنَّةُ، وَالزِّيَادَةُ: النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلّ
“Balasan yang baik artinya Surga sementara Tambahannya artinya memandang wajah Allah ‘Azza Wajalla” [12]
Demikian juga dalil yang menunjukan rukyatullah adalah Firman Allah Ta’ala :
{لَهُم مَّا يَشَاؤُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ}
Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya”.[13]
Imam Al Qurthubi rahimahullah mengatakan tentang ayat diatas :
قَوْلُهُ تعالى: {لَهُمْ ما يَشاؤُنَ فِيها} يَعْنِي مَا تَشْتَهِيهِ أَنْفُسُهُمْ وَتَلَذُّ أَعْيُنُهُمْ. {وَلَدَيْنا مَزِيدٌ} مِنَ النِّعَمِ مِمَّا لَمْ يَخْطِرْ عَلَى بَالِهِمْ. وَقَالَ أَنَسٌ وَجَابِرٌ: الْمَزِيدُ النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ تَعَالَى بِلَا كَيْفٍ. وَقَدْ وَرَدَ ذَلِكَ فِي أَخْبَارٍ مَرْفُوعَةٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنى وَزِيادَةٌ} قَالَ: الزِّيَادَةُ النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ الْكَرِيمِ.
“Firman Allah Ta’ala, “Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki”, yakni apa yang mereka inginkan oleh jiwa dan apa yang dinikmati oleh mata, dan Firman Nya, “Dan pada sisi Kami ada tambahannya”, berupa nikmat yang belum terbetik dalam fikiran mereka.” Dan Anas serta Jabir radhiyallahu anhuma berkata, “Al Mazid (tambahan) adalah memandang kepada wajah Allah Ta’ala tanpa membagaimanakan”. Dan telah datang akan hal itu keterangan secara marfu’ periwayatannya sampai kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam tentang firman Allah Ta’ala Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya”, Tambahan yang dimaksud adalah memandang kepada Wajah Allah yang Mulia” [14]
Allah Ta’ala berfirman :
{كَلَّا إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوبُونَ}
“Sekali-kali tidak , sesungguhnya mereka (orang orang kafir) pada hari itu benar-benar tertutup (terhalangi) dari Tuhan mereka”. [15]
Segi pendalilannya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i rahimahullah ketika ditanya tentang ayat diatas :
فَلَمَّا أَنْ حُجِبُوا هَؤُلَاءِ فِي السَّخَطِ كَانَ فِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُمْ يَرَوْنَهُ فِي الرِّضَا
“Manakala mereka (orang kafir) terhalangi dari melihat Allah saat di murkai, maka hal ini sebagai dalil bahwasanya mereka (orang beriman) akan melihat Allah saat diridhai” [16]
Allah Ta’ala berfirman :
{عَلَى الْأَرَائِكِ يَنظُرُونَ}
“Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang”. [17]
Perkataan “memandang” dalam ayat diatas tidak disebutkan kepada apa memandang nya, maka bentuknya umum mencakup semua yang menyenangkan untuk dipandang. Dan tentunya yang paling agung dan paling nikmat adalah memandang kepada Allah berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh keni’matan” (QS Al Muthafifin : 24), maka kontek ayat tersebut serupa dengan firman Allah Ta’ala, “Wajah wajah mereka pada saat itu berseri seri, kepada Rabbnya mereka memandang” (QS Al Qiyamah : 22-23) maka mereka memandang kepada setiap apa yang menyenangkan untuk dipandang kepadanya” [18]
Dalil dalil dari As Sunnah
Adapun dalil dalil dari As Sunnah tentang rukyatullah sangatlah banyak bahkan mencapai derajat mutawatir sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “(Keyakinan bahwa) orang-orang yang beriman akan melihat (wajah) Allah Ta’ala di akhirat nanti telah ditetapkan dalam hadits-hadits yang shahih, dari (banyak) jalur periwayatan yang (mencapai derajat) mutawatir, menurut para imam ahli hadits, sehingga mustahil untuk ditolak dan diingkari” [19]
Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jarir bin Abdullah radhiyallahu anhu ia berkata :
كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ نَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ قَالَ إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُونَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنْ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لَا تُغْلَبُوا عَلَى صَلَاةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَصَلَاةٍ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ فَافْعَلُوا
“Pernah kami duduk-duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tiba-tiba beliau melihat bulan yang ketika itu malam purnama, lantas beliau bersabda: “Sungguh kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini, kalian tidak bakalan kesulitan melihatnya, maka jika kalian mampu untuk tidak kewalahan melakukan shalat sebelum matahari terbit dan matahari terbenam, maka lakukanlah”. [20]
Dalam lafadz lain disebutkan :
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عِيَانًا
“Sesungguhnya kalian akan melihat langsung Rabb kalian dengan mata kepala” [21]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata :
قَالَ نَاسٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ قَالَ: «هَلْ تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ الشَّمْسِ فِي الظَّهِيرَةِ لَيْسَتْ فِي سَحَابَةٍ؟» قَالُوا: لَا، قَالَ: «هَلْ تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ لَيْسَ فِي سَحَابَةٍ؟» قَالُوا: لَا، قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ إِلَّا كَمَا تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ أَحَدِهِمَا»
“Beberapa orang berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah kita akan dapat melihat Tuhan kita pada hari Kiamat kelak?’ Beliau menjawab, ‘Apakah kalian merasa samar melihat matahari di tengah hari bolong tanpa awan?’ Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melanjutkan, ‘Apakah kalian merasa samar melihat bulan pada malam purnama tanpa awan?’ Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman tangan-Nya, sungguh kalian tidak akan merasa samar saat melihat-Nya, kecuali seperti samarnya kalian melihat salah satu dari keduanya (matahari atau bulan purnama)” [22]
Perlu diberi catatan disini bahwa didalam hadits diatas Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak sedang menyerupakan Allah Ta’ala dengan makhluk Nya yaitu matahari atau bulan, namun yang diserupakan adalah Ru’yah (cara pandang) dan bukan Mar’iy (objek yang dilihat). Ada tiga kesamaan sebagai hikmah atas penyerupaan melihat Allah dengan melihat matahri atau bulan :
- Kesamaan dari sisi Arah yaitu Atas
- Kesamaan dari sisi kejelasannya
- Kesamaan dari sisi jumlahnya yaitu satu [23]
Perkataan para Salaf tentang Rukyatullah
Penetapan dan keyakinan bahwasanya orang yang beriman akan melihat Alah di akhirat juga telah dinyatakan sejumlah para ulama dari zaman ke zaman dalam kitab kitab aqidah mereka bahkan mereka menukil adanya ijma’ (konsensus) para Salaf.
Imam Ahmad bin Hambal berkata,
وَالإِيمَانُ بِالرُّؤْيَةِ يَوْمَ القِيَامَةِ كَمَا رُوِيِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الأَحَادِيثِ الصِّحَاحِ.
“Diantara prinsip-prinsip dasar Ahlus sunnah adalah kewajiban mengimani (bahwa kaum mu’minin) akan melihat (wajah Allah Ta’ala yang maha mulia) pada hari kiamat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih” [24]
Imam Abu bakar Al Humaidi berkata :
وَالْإِقْرَارُ بِالرُّؤْيَةِ بَعْدَ الْمَوْتِ.
(Ahlus sunnah) menetapakan (beriman) terhadap ru’yah (melihat Allah) pada hari kiamat sebagaimana hadits-hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. [25]
Imam Ismail bin Yahya al-Muzani rahimahullah berkata,
فَهُمْ حِينَئِذٍ إِلَى رَبِّهِمْ يَنْظُرُوْنَ لَا يُمَارُوْنَ فِيْ النَّظَرِ إِلَيْهِ وَلَا يَشُكُّوْنَ فَوُجُوْهُهُمْ بِكَرَامَتِهِ نَاضِرَةٌ وَأَعْيُنُهُمْ بِفَضْلِهِ إِلَيْهِ نَاظِرَةٌ فِيْ نَعِيْمٍ دَائِمٍ مُقِيْمٍ
“Penghuni surga pada hari kiamat akan melihat (wajah) Rabb (Tuhan) mereka (Allah Ta’ala), mereka tidak merasa ragu dan bimbang dalam melihat Allah Ta’ala, maka wajah-wajah mereka akan ceria dengan kemuliaan dari-Nya dan mata-mata mereka dengan karunia-Nya akan melihat kepada-Nya, dalam kenikmatan (hidup) yang kekal abadi…” [26]
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi berkata
وَالرُّؤْيَةُ حَقٌّ لِأَهْلِ الْجَنَّةِ، بِغَيْرِ إِحَاطَةٍ وَلَا كَيْفِيَّةٍ، كَمَا نَطَقَ بِهِ كِتَابُ رَبِّنَا: {وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ، إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ} [الْقِيَامَةِ: 22, 23]. وَتَفْسِيرُهُ عَلَى مَا أَرَادَ اللَّهُ تَعَالَى وَعَلِمَهُ، وَكُلُّ مَا جَاءَ فِي ذَلِكَ مِنَ الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ كَمَا قَالَ، وَمَعْنَاهُ عَلَى مَا أَرَادَ، لَا نَدْخُلُ فِي ذَلِكَ مُتَأَوِّلِينَ بِآرَائِنَا وَلَا مُتَوَهِّمِينَ بِأَهْوَائِنَا، فَإِنَّهُ مَا سَلِمَ فِي دِينِهِ إِلَّا مَنْ سَلَّمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَرَدَّ عِلْمَ مَا اشْتَبَهَ عَلَيْهِ إِلَى عَالِمِهِ”.
“Memandang wajah Allah Ta’ala bagi penghuni surga adalah kebenaran (yang wajib diimani), (dengan pandangan) yang tanpa meliputi (secara keseluruhan) dan tanpa (menanyakan) bagaimana (keadaan yang sebenarnya), sebagaimana yang ditegaskan dalam kitabullah (al-Qur’an): “Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS Al-Qiyaamah:22-23). Penafsiran ayat ini adalah sebagaimana yang Allah Ta’ala ketahui dan kehendaki (bukan berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia), dan semua hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan masalah ini adalah (benar) seperti yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan, dan maknanya seperti yang beliau inginkan. Kita tidak boleh membicarakan masalah ini dengan menta’wil (menyelewengkan arti yang sebenarnya) dengan akal kita (semata-mata), serta tidak mereka-reka dengan hawa nafsu kita, karena tidak akan selamat (keyakinan seseorang) dalam beragama kecuali jika dia tunduk dan patuh kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengembalikan ilmu dalam hal-hal yang kurang jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya (para ulama Ahlus sunnah)” [27]
Imam Abul Hasan Al Asy’ari rahimahullah berkata,
وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ الْمُؤْمِنِيْنَ يَرَوْنَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَعْيُنِ وُجُوْهِهِمْ عَلَى مَا أَخْبَرَ بِهِ تَعَالَى فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى : وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Para Ulama telah bersepakat bahwasanya kaum mukminin akan melihat Allah Azza wajalla pada hari kiamat dengan mata kepala mereka sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Allah dalam firman Nya “Wajah wajah pada hari itu cerah berseri seri mereka memandang kepada Rabb mereka” (QS Al Qiyamah : 22-23) ” [28]
Imam Al Muwafq Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
وَالْمُؤْمِنُونَ يَرَوْنَ رَبَّهُمْ بِأَبْصَارِهِمْ وَيَزُورُونَهُ, وَيُكَلِّمُهُمْ, وَيُكَلِّمُونَهُ, قَالَ اَللَّهُ تَعَالَى: {وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ} [القيامة: 22 – 23]
Kaum mukminin melihat Rabb mereka di akhirat dengan penglihatan mereka dan mereka mengunjunginya. Allah mengajak berbicara mereka dan mereka berbicara kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” [75:22-23] [29]
Al Hafidz Abdul Ghani Al Maqdisi rahimahullah berkata,
وَأَجْمَعَ أَهْلُ الْحَقِّ وَاتَّفَقَ أَهْلُ التَّوْحِيْدِ وَالصِّدْقِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُرَى فِيْ الْآخِرَةِ كَمَا جَاءَ فِيْ كِتَابِهِ وَصَحَّ عَنْ رَسُوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Dan telah bersepakat Para lama yang berada diatas kebenaran demikian juga para Ahli Tauhid yang jujur bahwasanya Allah Ta’ala akan dilihat di akhirat sebagaimana datang dalilnya dalam Kitab Nya dan hadits yang shahih dari Rasul Nya” [30]
Syubhat dan bantahannya
Kelompok sesat dari kalangan ahli bid’ah seperti kaum jahmiyyah, Mu’tazilah, Rafidhah, sekte ibdhiyah dari kalangan khawarij, termasuk kaum Asy’ariyah yang menetapakan rukyatullah namun mengingkari jihah (arah), yakni kata mereka bahwa Allah bisa dilihat namun tidak pada satu arah, tidak diatas tidak dibawah tidak dikiri tidak dikanan, tidak didepan tidak pula dibelakang dan seterusnya, tentunya hal ini adalah sebuah kontradiksi yang sangat mengherankan dan menjadi bahan tertawaan kaum yeng berakal. Kaum Asy’ariyah bersikap demikian seolah ingin bersama kaum Mu’tazilah dalam masalah pengingkaran sifat ketinggian (al ‘Uluw) dan sifat arah (jihah) bagi Allah dan ingin bersama dengan Ahlus sunnah dalam penetapan Ru’yah (melihat Allah) namun mereka tidak sanggup melakukannya . [31]
Hujah mereka dalam mengingkari sifat Ru’yah bagi Allah, yang pada hakekatnya kalau dicermati justru hujah mereka adalah bantahan atas mereka sendiri , diantaranya :
[1] Firman Allah Ta’ala
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”. [32]. Mereka mentakwil kata Nadzirah (melihat) kepada Muntadzirah (menunggu).
Jawaban atas syubhat diatas :
Memang benar kata Nadzara dalam bahasa arab bisa bermakna menunggu, namun ketika disambungkan dengan kata sambung Ila (الى) maka maknanya adalah memandang dengan mata kepala sebagaimana pada ayat memandang Allah diatas. [33].
Demikian juga apabila disambungkan dengan kata sambung Fi (في) maka maknanya adalah bertafakur atau mentadaburi sebagaimana pada Firman Allah :
أَوَلَمْ يَنظُرُواْ فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi..” [34]
Adapun kalau lafadz Nadzara tanpa disambungkan dengan kata sambung apapun maka maknanya menunggu sebagaimana pada Firman Allah :
يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِن نُّورِكُمْ
“Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu”. [35]
[2] Firman Allah Ta’ala :
لاَّ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” [36]. Mereka mengatakan bahwa ayat diatas menunjukan kalau Allah itu tidak bisa dilihat.
Jawaban atas syubhat diatas :
Ayat diatas menafikan Al Idrak (penjangkauan) bukan Ru’yah (penglihatan), yakni Allah tidak bisa dijangkau dan diliputi oleh makhluk Nya, adapun semata mata melihat maka tidak mengharuskan menjangkau atau meliputinya setiap sisi dan segi.
Sebagian dari para ulama salaf ada yang menafsirkan ayat ini: “Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata di dunia ini, sedangkan di akhirat nanti pandangan mata (orang-orang yang beriman) bisa melihatnya [37]
Dalam ayat ini Allah Ta’ala hanya menafikan al-idraak yang berarti al-ihaathah (meliputi/melihat secara keseluruhan), sedangkan melihat tidak sama dengan meliputi [38]Bukankan manusia bisa melihat matahari di siang hari tapi dia tidak bisa meliputinya secara keseluruhan? [39]
Al-Idraak (meliputi atau menjangkau) artinya lebih khusus dari pada ar-ru’yah (melihat), maka dengan dinafikannya al-Idraak menunjukkan adanya ar-ru’yah (melihat Allah Ta’ala), karena penafian sesuatu yang lebih khusus menunjukkan tetap dan adanya sesuatu yang lebih [40]
[3] Mereka mengatakan bahwa Ru’yah (melihat) Allah itu berkonsekwensi Allah ada pada sebuah tempat dan arah, hal ini bentuk Tasybih (menyerupakan) Allah dengan makhluk
Jawaban atas syubhat diatas :
Menetapkan sifat bagi Allah seperti Ru’yah dan sifat sifat Allah lainnya tidaklah berkonsekwensi Tasybih (menyerupakan) Allah dengan makhluk, karena kaedah yang ditetapkan oleh Ahlus Sunnah adalah :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“..Tidak ada yang serupa dengan Nya sedikitpun dan Dia maha menedengar lagi melihat”. [41]
[4] Kaum Mu’tazilah menafsirkan Melihat dalam arti mengetahui sebagaimana dalam Firman Allah :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
“Apakah engkau tidak memperhatikan apa yang dilkaukan Rabb mu terhadap para pasukan gajah” [42]. Maka Rukyah dalam ayat diatas maknanya ilmu atau mengetahui. Demikian juga dalam hadits
«إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَمَا تَرَوْنَ الْقَمَرَ لَيْلَةَ الْبَدْرِ»
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian pada hari kiamat sebagaimana engkau melihat bulan purnama” [43]. Mereka menafsirkannya dengan mengetahui bukan melihat .
Jawaban atas syubhat diatas adalah :
Penafsiran tersebut adalah sebatil batilnya penafsiran, karena hadits tersebut menyerupakan melihat Allah itu dengan melihat matahri atau bulan maka jelas makna melihat ini adalah melihat dengan mata kepala bukan mata hati atau ilmu [44]
[5] Kaum Asy’ariyyah menetapkan rukyah namun menafikan jihah (arah) mereka mengatakan, ‘Sesunguhnya Allah bisa dilihat namun bukan pada suatu arah.
Jawaban atas syubhat diatas :
Hal ini adalah kebatilan. Karena yang namanya melihat maka objek yang dilihat harsulah berhadapan maka sebuah kontradiksi kalau dikatakan melihat tapi objeknya tidak ada.
[6] Firman Allah
وَلَمَّا جَاء مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَن تَرَانِي
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku..” [45]. Mereka mengatakan lafadz Lan ((لن berkonsekwensi penafiyan (peniadaan) selamanya.
Jawaban atas syubhat diatas adalah :
Penafiyan atau peniadaan dengan lafadz Lan (لن) tidak menunjukan penafiyan untuk selamanya berdasarkan dua segi pendalilan, yaitu dari sisi Al Quran dan sisi ilmu bahsa Arab
Pertama : Berdasarkan Al Quran, Allah Ta’ala berfirman
وَلَن يَتَمَنَّوْهُ أَبَداً بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمينَ
“Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya.” [46].
Dalam ayat diatas Allah menyatakan bahwa mereka orang orang kafir tidak akan pernah minta kematian selamanya, namun kemudian Allah mengabarkan bahwa mereka akan berharap kematian, sebagai mana pad ayat berikut ini :
وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ قَالَ إِنَّكُم مَّاكِثُونَ
“Mereka orang orang kafir berseru: “Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja”. Dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)”. [47]
Kedua : Dari sisi ilmu bahasa, yaitu lafadz Lan (لن), tidaklah harus menunjukan penafian untuk selamanya.
Ibnu Malik, salah seorang ulama ahli tata bahasa Arab, berkata dalam syairnya:
وَمَنْ رَأَى النَّفْيَ بِلَنْ مُؤَبَّداً … فَقَوْلُهُ انْبُذْ وَسِوَاهُ فَاعْضُدَا (فَقَوْلُهُ ارْدُدْ وَخِلاَفُهُ فَاعْضُدَا)
Barangsiapa yang beranggapan bahwa (kata) “lan” berarti penafian selama-lamanya
Maka tolaklah pendapat ini dan ambillah pendapat selainnya [48]
Demikianlah penjelasan ringkas tentang salah satu keyakinan dan prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah yang agung, yaitu melihat wajah Allah Ta’ala. Semoga dengan mengimaninya kita sekalian termasuk yang mendapatkan anugerah agung ini , wallahu waliyyut taufiq []
Abu Ghozie As Sundawie
Ponpes As Sunnah, Pasuruan JAWA TIMUR
*****
[1] HR Nassai : 1305, shahih Sunan An Nassai : 1237
[2] HR Muslim : 297, Tirmidzi : 3105, Ibnu Majah : 187, Ahmad : 18955
[3] Syarah Ashlus Sunnah Wa’tiqadud Diin, karya syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rajihi, hal. 79-80, lihat juga At Ta’liq Al Waqaad, karya Hanan Binti ‘Ali Al Yamani, hal. 139.
[4] QS Al Qiyamah : 22-23
[5] HR Bukhari : 6998, dan Muslim : 633 dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma
[6] QS Yunus : 26
[7] HR Muslim : 297, Tirmidzi : 3105, Ibnu Majah : 187, Ahmad : 18955
[8] Al Ibanah Al Kubra, Ibnu Baththah 7/3, lihat juga tafsiran yang semakna dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim : 297, Tirmidzi : 3105, Ibnu Majah : 187, dan Ahmad : 18955
[9] Tafsir al Qurthubi, 19/107
[10] Tafsir Al Qurthubi 8/330
[11] Tafsir Ibnu Katsir 4/262
[12] Tafsir At Thabari 15/69
[13] QS Qaaf : 35
[14] Tafsir al Qurthubi 17/21
[15] QS Al Muthaffifiin : 15
[16] Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah, Al Laalika-i 3/560 no : 883, lihat : Al I’tiqaad, Al Baihaqi 1/131, lihat juga : Syarah Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Ibnu Utsaimin 1/454-455, lihat : Manaqib As Syafi’i karya Al Baihaqi 1/419
[17] QS Al Muthaffifiin : 23
[18] Syarah Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Ibnu Utsaimin 1/450
[19] Tafsir Ibnu Katsir 8/279
[20] HR Bukhari : 554 dan Muslim : 633
[21] HR Bukhari : 7435 dan Muslim : 2577 dari Jarir bin Abdullah
[22] HR Bukhari : 6088, Muslim : 267, Abu Dawud : 4730
[23] Disampaikan oleh Syaikh Ali As Syibl dalam daurah Ushulus Sunnah Imam Al Muzani
[24] Hushulul Minnah Bisyarhi Ushulils Sunnah, Khalid Mahmud Al Juhani, hal. 56
[25] Tamamul Minnah Fi Syarhi Ushulis Sunnah, Abdullah Al Bukhari, hal. 86
[26] Idhahu Syarhis Sunnah, Muhammad bin Umar Bazmul, hal. 85
[27] Syarah Aqidah Thohawiyyah 1/189
[28] Risalah Ila Ahli Ast Tsaghar, Abul Hasan Al Asy’ari, hal. 134
[29] Syarah Lum’atil I’tiqad , Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, hal. 129
[30] Al Iqtishad Fil I’tiqad, Abdul Ghani Al Maqdisi, hal. 125, lihat Ad Dalil Ar Rasyid Ila Mutun Al Aqidah Wat tauhid, hal. 231.
[31] Syarah Ashlus Sunnah Wa’tiqadud Diin , syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rajihi, hal. 80
[32] QS Al Qiyamah : 22-23
[33] Syarah Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 1/448
[34] QS Al A’raf : 185
[35] QS Al Hadid : 13
[36] QS Al An’am : 103
[37] Tafsir Ibnu Katsir 3/310
[38] Tafsir Ibnu Katsir 3/310
[39] Syarah Aqidah Al Wasithiyyah , Ibnu Utsaimin, 1/457
[40] Syarah Aqidah Al Wasithiyyah , Ibnu Utsaimin, 1/457
[41] QS As Syuraa : 11
[42] QS Al Fiil : 1
[43] HR Tirmidzi : 2554
[44] Syarah Ashlus Sunnah wa’Tiqadud Diin, Syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rajihi, hal 79
[45] QS Al A’raf : 143
[46] QS Al Baqarah : 95
[47] QS Az Zukhruf : 77
[48] Dinukil oleh syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam syarah aqidah al Wasithiyyah 1/456
AQIDAH AHLUS SUNNAH TENTANG RUKYATULLAH
Rukyatullah artinya melihat Allah dan yang dimaksud dengannya adalah keyakinan bahwa orang yang beriman akan melihat Allah di Surga kelak pada hari kiamat, bahkan anugerah yang paling besar bagi penduduk Surga adalah memandang wajah Allah Ta’ala, hal ini sebagai balasan atas keimanan mereka dan kecintaan serta kerinduan mereka kepada Allah Ta’al.
Dalam sebuah untaian doa Nabi shalallahu alaihi wasallam disebutkan :
أَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ
“Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu” [1]
Dari Shuhaib bin Sinan radhiyallahu anhu ia berkata, ‘Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، قَالَ: يَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا؟ أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ، وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ؟ قَالَ: فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ، فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ تلا هذه الآيةِ {لِلَّذِيْنَ أَحْسَنُوْا الْحُسْنَى وَزِّيَادَةٌ}
“Apabila penduduk surga sudah memasuki surga, maka Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman kepada mereka, “Maukah Aku tambahkan sesuatu (nikmat) atas kalian ?”, maka penduduk Surga pun mengatakan, ‘Bukankah telah Engkah putihkan wajah kami?, bukankah Engkau telah masukan kami ke dalam Surga dan menyelamatkan kami dari api Neraka?. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Maka tersingkaplah hijab, sehingga tiada yang diberikan dari nikmat surga yang paling disukai oleh mereka dari memandang kepada Rabb mereka’. Kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wasallam membacakan Firman Allah, “Dan bagi orang orang yang berbuat kebajikan balasannya adalah Surga dan Tambahannya” [2]
Keyakinan terhadap Ru’yatullah telah ditetapkan berdasarkan Al Quran, As Sunnah yang shahihah bahkan hadits hadits tentang Ru’yah mencapai derajat Mutawatir, serta berdasarkan Ijma (konsensus) para ulama ahlus sunnah wal jama’ah. Tidak ada yang berselisih diantara mereka kecuali kalangan yang menyimpang dari kelompok ahli bid’ah seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah, Rafidhah, Khowarij diantaranya kelompok Ibadhiyah, sebagian dari kelompok Murji’ah mereka mengingkari Rukyatullah, adapun kalangan Asy’ariyyah mereka menetapkan Rukyatullah namun menafikan Arah (jihah), yakni meyakini Allah bisa dilihat namun tidak pada satu arah, tentu hal ini sebuah kontradiksi yang mengherankan. [3]
Dalil dalil dari Al Quran
Adapun dalil dalil menurut Ahlus sunnah dalam menetapkan Rukyatullah adalah Firman Allah Ta’ala :
{وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ}
Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri kepada Tuhannyalah mereka melihat”. [4]
Dalam ayat yang mulia diatas, Lafadz Nadzara (melihat) di sambungkan dengan kata sambung Ila (kepada) yang menunjukan arti melihat dengan mata kepala bukan melihat dengan hati dan tidak bisa pula diartikan dengan menunggu. Apalagi hal ini dikuatkan dengan sabda nabi shalallahu alaihi wasallam :
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عِيَانًا
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan mata telanjang” [5]
Allah Ta’ala juga telah berfirman :
{لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ}
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya .”[6]
Yang dimaksud dengan Ziyadah (tambahan) nikmat bagi penduduk Surga pada ayat diatas adalah sebagaimana yang di tafsirkan oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam, “Apabila penduduk surga sudah memasuki surga, maka Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman kepada mereka, “Maukah Aku tambahkan sesuatu (nikmat) atas kalian ?”, maka penduduk Surga pun mengatakan, ‘Bukankah telah Engkah putihkan wajah kami?, bukankah Engkau telah masukan kami ke dalam Surga dan menyelamatkan kami dari api Neraka?. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Maka tersingkaplah hijab, sehingga tiada yang diberikan dari nikmat surga yang paling disukai oleh mereka dari memandang kepada Rabb mereka’. Kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wasallam membacakan Firman Allah, “Dan bagi orang orang yang berbuat kebajikan balasannya adalah Surga dan Tambahannya” [7]
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam juga bersabda :
«لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْعَمَلَ فِي الدُّنْيَا الْحُسْنَى وَهِيَ الْجَنَّةُ، وَالزِّيَادَةُ النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ الْكَرِيمِ تَعَالَى»
“Bagi orang yang beramal kebaikan didunia akan dibalas dengan balasan yang paling baik yaitu Surga, dan Tambahannya adalah memandang kepada wajah Allah yang Mulia lagi maha tinggi” [8]
Ibnu Umar radhiyallahu anhuma mengatakan :
أَكْرَمُ أَهْلِ الْجَنَّةِ عَلَى اللَّهِ مَنْ يَنْظُرُ إِلَى وَجْهِهِ غُدْوَةً وَعَشِيَّةً، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ: وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ ناضِرَةٌ. إِلى رَبِّها ناظِرَةٌ
“Kenikmatan yang paling mulia bagi penduduk Surga adalah melihat wajah Rabb nya setiap pagi dan petang, lalu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam membaca ayat ini “Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri kepada Tuhannyalah mereka melihat”. [9]
Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata :
قَوْلُهُ تَعَالَى: (لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنى وَزِيادَةٌ) رُوِيَ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى:” وَزِيادَةٌ” قَالَ: (لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْعَمَلَ فِي الدُّنْيَا لَهُمُ الْحُسْنى وَهِيَ الْجَنَّةُ وَالزِّيَادَةُ النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ الْكَرِيمِ) وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فِي رِوَايَةٍ.
Firman Allah “Bagi orang yang berbuat kebajikan akan mendapatkan balasan yang paling baik dan Tambahannya” Telah diriwayatkan dari hadits Anas Ia berkata, ‘Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ditanya tentang Firman Allah ‘Dan mendapatkan Tambahannya’ Beliaupun bersabda, ‘Bagi orang yang beraal kebaikan di dunia, maka bagi mereka balasan yang lebih baik yaitu berupa Surga, dan Tambahannya berupa memandang kepada Wajah Allah yang Mulia, dan ia perkataan Abu Bakar As Shiddiq, dan Ali bin Abi Thalib pada salah satu riwayat. [10]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
وَأَفْضَلُ مِنْ ذَلِكَ وَأَعْلَاهُ النظرُ إِلَى وَجْهِهِ الْكَرِيمِ، فَإِنَّهُ زِيَادَةٌ أَعْظَمُ مِنْ جَمِيعِ مَا أُعْطُوهُ، لَا يَسْتَحِقُّونَهَا بِعَمَلِهِمْ، بَلْ بِفَضْلِهِ وَرَحْمَتِهِ وَقَدْ رُوِيَ تَفْسِيرُ الزِّيَادَةِ بِالنَّظَرِ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ الْكَرِيمِ، عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ، وَحُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ
” (Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di surga adalah memandang wajah Allah yang maha mulia, karena inilah “tambahan” yang paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allah berikan kepada para penghuni surga. Mereka berhak mendapatkan kenikmatan tersebut bukan (semata-mata) karena amal perbuatan mereka, tetapi karena karunia dan rahmat Allah. Dan diriwayatkan dari Abu bakar As Shidiq, Hudzaifah bin Al Yaman, dan Ibnu Abbas bahwa tafsir kata Ziayadah (tambahan) adalah memandang kepada wajah Allah yang mulia” [11]
Ubay bin Ka’ab radhiyallahu anhu bertanya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tentang Firman Allah : Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya”, Maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjawab :
الْحُسْنَى: الْجَنَّةُ، وَالزِّيَادَةُ: النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Balasan yang baik artinya Surga sementara Tambahannya artinya memandang wajah Allah ‘Azza Wajalla” [12]
Demikian juga dalil yang menunjukan rukyatullah adalah Firman Allah Ta’ala :
{لَهُم مَّا يَشَاؤُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ}
Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya”.[13]
Imam Al Qurthubi rahimahullah mengatakan tentang ayat diatas :
قَوْلُهُ تعالى: {لَهُمْ ما يَشاؤُنَ فِيها} يَعْنِي مَا تَشْتَهِيهِ أَنْفُسُهُمْ وَتَلَذُّ أَعْيُنُهُمْ. {وَلَدَيْنا مَزِيدٌ} مِنَ النِّعَمِ مِمَّا لَمْ يَخْطِرْ عَلَى بَالِهِمْ. وَقَالَ أَنَسٌ وَجَابِرٌ: الْمَزِيدُ النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ تَعَالَى بِلَا كَيْفٍ. وَقَدْ وَرَدَ ذَلِكَ فِي أَخْبَارٍ مَرْفُوعَةٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنى وَزِيادَةٌ} قَالَ: الزِّيَادَةُ النَّظَرُ إِلَى وَجْهِ اللَّهِ الْكَرِيمِ.
“Firman Allah Ta’ala, “Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki”, yakni apa yang mereka inginkan oleh jiwa dan apa yang dinikmati oleh mata, dan Firman Nya, “Dan pada sisi Kami ada tambahannya”, berupa nikmat yang belum terbetik dalam fikiran mereka.” Dan Anas serta Jabir radhiyallahu anhuma berkata, “Al Mazid (tambahan) adalah memandang kepada wajah Allah Ta’ala tanpa membagaimanakan”. Dan telah datang akan hal itu keterangan secara marfu’ periwayatannya sampai kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam tentang firman Allah Ta’ala Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya”, Tambahan yang dimaksud adalah memandang kepada Wajah Allah yang Mulia” [14]
Allah Ta’ala berfirman :
{كَلَّا إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّمَحْجُوبُونَ}
“Sekali-kali tidak , sesungguhnya mereka (orang orang kafir) pada hari itu benar-benar tertutup (terhalangi) dari Tuhan mereka”. [15]
Segi pendalilannya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i rahimahullah ketika ditanya tentang ayat diatas :
فَلَمَّا أَنْ حُجِبُوا هَؤُلَاءِ فِي السَّخَطِ كَانَ فِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُمْ يَرَوْنَهُ فِي الرِّضَا
“Manakala mereka (orang kafir) terhalangi dari melihat Allah saat di murkai, maka hal ini sebagai dalil bahwasanya mereka (orang beriman) akan melihat Allah saat diridhai” [16]
Allah Ta’ala berfirman :
{عَلَى الْأَرَائِكِ يَنظُرُونَ}
“Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang”. [17]
Perkataan “memandang” dalam ayat diatas tidak disebutkan kepada apa memandang nya, maka bentuknya umum mencakup semua yang menyenangkan untuk dipandang. Dan tentunya yang paling agung dan paling nikmat adalah memandang kepada Allah berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh keni’matan” (QS Al Muthafifin : 24), maka kontek ayat tersebut serupa dengan firman Allah Ta’ala, “Wajah wajah mereka pada saat itu berseri seri, kepada Rabbnya mereka memandang” (QS Al Qiyamah : 22-23) maka mereka memandang kepada setiap apa yang menyenangkan untuk dipandang kepadanya” [18]
Dalil dalil dari As Sunnah
Adapun dalil dalil dari As Sunnah tentang rukyatullah sangatlah banyak bahkan mencapai derajat mutawatir sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “(Keyakinan bahwa) orang-orang yang beriman akan melihat (wajah) Allah Ta’ala di akhirat nanti telah ditetapkan dalam hadits-hadits yang shahih, dari (banyak) jalur periwayatan yang (mencapai derajat) mutawatir, menurut para imam ahli hadits, sehingga mustahil untuk ditolak dan diingkari” [19]
Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jarir bin Abdullah radhiyallahu anhu ia berkata :
كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ نَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ قَالَ إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُونَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنْ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لَا تُغْلَبُوا عَلَى صَلَاةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَصَلَاةٍ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ فَافْعَلُوا
“Pernah kami duduk-duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tiba-tiba beliau melihat bulan yang ketika itu malam purnama, lantas beliau bersabda: “Sungguh kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini, kalian tidak bakalan kesulitan melihatnya, maka jika kalian mampu untuk tidak kewalahan melakukan shalat sebelum matahari terbit dan matahari terbenam, maka lakukanlah”. [20]
Dalam lafadz lain disebutkan :
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عِيَانًا
“Sesungguhnya kalian akan melihat langsung Rabb kalian dengan mata kepala” [21]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata :
قَالَ نَاسٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ قَالَ: «هَلْ تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ الشَّمْسِ فِي الظَّهِيرَةِ لَيْسَتْ فِي سَحَابَةٍ؟» قَالُوا: لَا، قَالَ: «هَلْ تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ لَيْسَ فِي سَحَابَةٍ؟» قَالُوا: لَا، قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ إِلَّا كَمَا تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ أَحَدِهِمَا»
“Beberapa orang berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah kita akan dapat melihat Tuhan kita pada hari Kiamat kelak?’ Beliau menjawab, ‘Apakah kalian merasa samar melihat matahari di tengah hari bolong tanpa awan?’ Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melanjutkan, ‘Apakah kalian merasa samar melihat bulan pada malam purnama tanpa awan?’ Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman tangan-Nya, sungguh kalian tidak akan merasa samar saat melihat-Nya, kecuali seperti samarnya kalian melihat salah satu dari keduanya (matahari atau bulan purnama)” [22]
Perlu diberi catatan disini bahwa didalam hadits diatas Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak sedang menyerupakan Allah Ta’ala dengan makhluk Nya yaitu matahari atau bulan, namun yang diserupakan adalah Ru’yah (cara pandang) dan bukan Mar’iy (objek yang dilihat). Ada tiga kesamaan sebagai hikmah atas penyerupaan melihat Allah dengan melihat matahri atau bulan :
- Kesamaan dari sisi Arah yaitu Atas
- Kesamaan dari sisi kejelasannya
- Kesamaan dari sisi jumlahnya yaitu satu [23]
Perkataan para Salaf tentang Rukyatullah
Penetapan dan keyakinan bahwasanya orang yang beriman akan melihat Alah di akhirat juga telah dinyatakan sejumlah para ulama dari zaman ke zaman dalam kitab kitab aqidah mereka bahkan mereka menukil adanya ijma’ (konsensus) para Salaf.
Imam Ahmad bin Hambal berkata,
وَالإِيمَانُ بِالرُّؤْيَةِ يَوْمَ القِيَامَةِ كَمَا رُوِيِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الأَحَادِيثِ الصِّحَاحِ.
“Diantara prinsip-prinsip dasar Ahlus sunnah adalah kewajiban mengimani (bahwa kaum mu’minin) akan melihat (wajah Allah Ta’ala yang maha mulia) pada hari kiamat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih” [24]
Imam Abu bakar Al Humaidi berkata :
وَالْإِقْرَارُ بِالرُّؤْيَةِ بَعْدَ الْمَوْتِ.
(Ahlus sunnah) menetapakan (beriman) terhadap ru’yah (melihat Allah) pada hari kiamat sebagaimana hadits-hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. [25]
Imam Ismail bin Yahya al-Muzani rahimahullah berkata,
فَهُمْ حِينَئِذٍ إِلَى رَبِّهِمْ يَنْظُرُوْنَ لَا يُمَارُوْنَ فِيْ النَّظَرِ إِلَيْهِ وَلَا يَشُكُّوْنَ فَوُجُوْهُهُمْ بِكَرَامَتِهِ نَاضِرَةٌ وَأَعْيُنُهُمْ بِفَضْلِهِ إِلَيْهِ نَاظِرَةٌ فِيْ نَعِيْمٍ دَائِمٍ مُقِيْمٍ
“Penghuni surga pada hari kiamat akan melihat (wajah) Rabb (Tuhan) mereka (Allah Ta’ala), mereka tidak merasa ragu dan bimbang dalam melihat Allah Ta’ala, maka wajah-wajah mereka akan ceria dengan kemuliaan dari-Nya dan mata-mata mereka dengan karunia-Nya akan melihat kepada-Nya, dalam kenikmatan (hidup) yang kekal abadi…” [26]
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi berkata
وَالرُّؤْيَةُ حَقٌّ لِأَهْلِ الْجَنَّةِ، بِغَيْرِ إِحَاطَةٍ وَلَا كَيْفِيَّةٍ، كَمَا نَطَقَ بِهِ كِتَابُ رَبِّنَا: {وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ، إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ} [الْقِيَامَةِ: 22, 23]. وَتَفْسِيرُهُ عَلَى مَا أَرَادَ اللَّهُ تَعَالَى وَعَلِمَهُ، وَكُلُّ مَا جَاءَ فِي ذَلِكَ مِنَ الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ كَمَا قَالَ، وَمَعْنَاهُ عَلَى مَا أَرَادَ، لَا نَدْخُلُ فِي ذَلِكَ مُتَأَوِّلِينَ بِآرَائِنَا وَلَا مُتَوَهِّمِينَ بِأَهْوَائِنَا، فَإِنَّهُ مَا سَلِمَ فِي دِينِهِ إِلَّا مَنْ سَلَّمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَرَدَّ عِلْمَ مَا اشْتَبَهَ عَلَيْهِ إِلَى عَالِمِهِ”.
“Memandang wajah Allah Ta’ala bagi penghuni surga adalah kebenaran (yang wajib diimani), (dengan pandangan) yang tanpa meliputi (secara keseluruhan) dan tanpa (menanyakan) bagaimana (keadaan yang sebenarnya), sebagaimana yang ditegaskan dalam kitabullah (al-Qur’an): “Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS Al-Qiyaamah:22-23). Penafsiran ayat ini adalah sebagaimana yang Allah Ta’ala ketahui dan kehendaki (bukan berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia), dan semua hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan masalah ini adalah (benar) seperti yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan, dan maknanya seperti yang beliau inginkan. Kita tidak boleh membicarakan masalah ini dengan menta’wil (menyelewengkan arti yang sebenarnya) dengan akal kita (semata-mata), serta tidak mereka-reka dengan hawa nafsu kita, karena tidak akan selamat (keyakinan seseorang) dalam beragama kecuali jika dia tunduk dan patuh kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengembalikan ilmu dalam hal-hal yang kurang jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya (para ulama Ahlus sunnah)” [27]
Imam Abul Hasan Al Asy’ari rahimahullah berkata,
وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ الْمُؤْمِنِيْنَ يَرَوْنَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَعْيُنِ وُجُوْهِهِمْ عَلَى مَا أَخْبَرَ بِهِ تَعَالَى فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى : وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Para Ulama telah bersepakat bahwasanya kaum mukminin akan melihat Allah Azza wajalla pada hari kiamat dengan mata kepala mereka sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Allah dalam firman Nya “Wajah wajah pada hari itu cerah berseri seri mereka memandang kepada Rabb mereka” (QS Al Qiyamah : 22-23) ” [28]
Imam Al Muwafq Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
وَالْمُؤْمِنُونَ يَرَوْنَ رَبَّهُمْ بِأَبْصَارِهِمْ وَيَزُورُونَهُ, وَيُكَلِّمُهُمْ, وَيُكَلِّمُونَهُ, قَالَ اَللَّهُ تَعَالَى: {وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ} [القيامة: 22 – 23]
Kaum mukminin melihat Rabb mereka di akhirat dengan penglihatan mereka dan mereka mengunjunginya. Allah mengajak berbicara mereka dan mereka berbicara kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” [75:22-23] [29]
Al Hafidz Abdul Ghani Al Maqdisi rahimahullah berkata,
وَأَجْمَعَ أَهْلُ الْحَقِّ وَاتَّفَقَ أَهْلُ التَّوْحِيْدِ وَالصِّدْقِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُرَى فِيْ الْآخِرَةِ كَمَا جَاءَ فِيْ كِتَابِهِ وَصَحَّ عَنْ رَسُوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Dan telah bersepakat Para lama yang berada diatas kebenaran demikian juga para Ahli Tauhid yang jujur bahwasanya Allah Ta’ala akan dilihat di akhirat sebagaimana datang dalilnya dalam Kitab Nya dan hadits yang shahih dari Rasul Nya” [30]
Syubhat dan bantahannya
Kelompok sesat dari kalangan ahli bid’ah seperti kaum jahmiyyah, Mu’tazilah, Rafidhah, sekte ibdhiyah dari kalangan khawarij, termasuk kaum Asy’ariyah yang menetapakan rukyatullah namun mengingkari jihah (arah), yakni kata mereka bahwa Allah bisa dilihat namun tidak pada satu arah, tidak diatas tidak dibawah tidak dikiri tidak dikanan, tidak didepan tidak pula dibelakang dan seterusnya, tentunya hal ini adalah sebuah kontradiksi yang sangat mengherankan dan menjadi bahan tertawaan kaum yeng berakal. Kaum Asy’ariyah bersikap demikian seolah ingin bersama kaum Mu’tazilah dalam masalah pengingkaran sifat ketinggian (al ‘Uluw) dan sifat arah (jihah) bagi Allah dan ingin bersama dengan Ahlus sunnah dalam penetapan Ru’yah (melihat Allah) namun mereka tidak sanggup melakukannya . [31]
Hujah mereka dalam mengingkari sifat Ru’yah bagi Allah, yang pada hakekatnya kalau dicermati justru hujah mereka adalah bantahan atas mereka sendiri , diantaranya :
[1] Firman Allah Ta’ala
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”. [32]. Mereka mentakwil kata Nadzirah (melihat) kepada Muntadzirah (menunggu).
Jawaban atas syubhat diatas :
Memang benar kata Nadzara dalam bahasa arab bisa bermakna menunggu, namun ketika disambungkan dengan kata sambung Ila (الى) maka maknanya adalah memandang dengan mata kepala sebagaimana pada ayat memandang Allah diatas. [33].
Demikian juga apabila disambungkan dengan kata sambung Fi (في) maka maknanya adalah bertafakur atau mentadaburi sebagaimana pada Firman Allah :
أَوَلَمْ يَنظُرُواْ فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi..” [34]
Adapun kalau lafadz Nadzara tanpa disambungkan dengan kata sambung apapun maka maknanya menunggu sebagaimana pada Firman Allah :
يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِن نُّورِكُمْ
“Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu”. [35]
[2] Firman Allah Ta’ala :
لاَّ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” [36]. Mereka mengatakan bahwa ayat diatas menunjukan kalau Allah itu tidak bisa dilihat.
Jawaban atas syubhat diatas :
Ayat diatas menafikan Al Idrak (penjangkauan) bukan Ru’yah (penglihatan), yakni Allah tidak bisa dijangkau dan diliputi oleh makhluk Nya, adapun semata mata melihat maka tidak mengharuskan menjangkau atau meliputinya setiap sisi dan segi.
Sebagian dari para ulama salaf ada yang menafsirkan ayat ini: “Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata di dunia ini, sedangkan di akhirat nanti pandangan mata (orang-orang yang beriman) bisa melihatnya [37]
Dalam ayat ini Allah Ta’ala hanya menafikan al-idraak yang berarti al-ihaathah (meliputi/melihat secara keseluruhan), sedangkan melihat tidak sama dengan meliputi [38]Bukankan manusia bisa melihat matahari di siang hari tapi dia tidak bisa meliputinya secara keseluruhan? [39]
Al-Idraak (meliputi atau menjangkau) artinya lebih khusus dari pada ar-ru’yah (melihat), maka dengan dinafikannya al-Idraak menunjukkan adanya ar-ru’yah (melihat Allah Ta’ala), karena penafian sesuatu yang lebih khusus menunjukkan tetap dan adanya sesuatu yang lebih [40]
[3] Mereka mengatakan bahwa Ru’yah (melihat) Allah itu berkonsekwensi Allah ada pada sebuah tempat dan arah, hal ini bentuk Tasybih (menyerupakan) Allah dengan makhluk
Jawaban atas syubhat diatas :
Menetapkan sifat bagi Allah seperti Ru’yah dan sifat sifat Allah lainnya tidaklah berkonsekwensi Tasybih (menyerupakan) Allah dengan makhluk, karena kaedah yang ditetapkan oleh Ahlus Sunnah adalah :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“..Tidak ada yang serupa dengan Nya sedikitpun dan Dia maha menedengar lagi melihat”. [41]
[4] Kaum Mu’tazilah menafsirkan Melihat dalam arti mengetahui sebagaimana dalam Firman Allah :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
“Apakah engkau tidak memperhatikan apa yang dilkaukan Rabb mu terhadap para pasukan gajah” [42]. Maka Rukyah dalam ayat diatas maknanya ilmu atau mengetahui. Demikian juga dalam hadits
«إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَمَا تَرَوْنَ الْقَمَرَ لَيْلَةَ الْبَدْرِ»
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian pada hari kiamat sebagaimana engkau melihat bulan purnama” [43]. Mereka menafsirkannya dengan mengetahui bukan melihat .
Jawaban atas syubhat diatas adalah :
Penafsiran tersebut adalah sebatil batilnya penafsiran, karena hadits tersebut menyerupakan melihat Allah itu dengan melihat matahri atau bulan maka jelas makna melihat ini adalah melihat dengan mata kepala bukan mata hati atau ilmu [44]
[5] Kaum Asy’ariyyah menetapkan rukyah namun menafikan jihah (arah) mereka mengatakan, ‘Sesunguhnya Allah bisa dilihat namun bukan pada suatu arah.
Jawaban atas syubhat diatas :
Hal ini adalah kebatilan. Karena yang namanya melihat maka objek yang dilihat harsulah berhadapan maka sebuah kontradiksi kalau dikatakan melihat tapi objeknya tidak ada.
[6] Firman Allah
وَلَمَّا جَاء مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَن تَرَانِي
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku..” [45]. Mereka mengatakan lafadz Lan ((لن berkonsekwensi penafiyan (peniadaan) selamanya.
Jawaban atas syubhat diatas adalah :
Penafiyan atau peniadaan dengan lafadz Lan (لن) tidak menunjukan penafiyan untuk selamanya berdasarkan dua segi pendalilan, yaitu dari sisi Al Quran dan sisi ilmu bahsa Arab
Pertama : Berdasarkan Al Quran, Allah Ta’ala berfirman
وَلَن يَتَمَنَّوْهُ أَبَداً بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمينَ
“Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya.” [46].
Dalam ayat diatas Allah menyatakan bahwa mereka orang orang kafir tidak akan pernah minta kematian selamanya, namun kemudian Allah mengabarkan bahwa mereka akan berharap kematian, sebagai mana pad ayat berikut ini :
وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ قَالَ إِنَّكُم مَّاكِثُونَ)) ((سورة الزخروف : 77))
“Mereka orang orang kafir berseru: “Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja”. Dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)”. [47]
Kedua : Dari sisi ilmu bahasa, yaitu lafadz Lan (لن), tidaklah harus menunjukan penafian untuk selamanya.
Ibnu Malik, salah seorang ulama ahli tata bahasa Arab, berkata dalam syairnya:
وَمَنْ رَأَى النَّفْيَ بِلَنْ مُؤَبَّداً … فَقَوْلُهُ انْبُذْ وَسِوَاهُ فَاعْضُدَا (فَقَوْلُهُ ارْدُدْ وَخِلاَفُهُ فَاعْضُدَا)
Barangsiapa yang beranggapan bahwa (kata) “lan” berarti penafian selama-lamanya
Maka tolaklah pendapat ini dan ambillah pendapat selainnya [48]
Demikianlah penjelasan ringkas tentang salah satu keyakinan dan prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah yang agung, yaitu melihat wajah Allah Ta’ala. Semoga dengan mengimaninya kita sekalian termasuk yang mendapatkan anugerah agung ini , wallahu waliyyut taufiq []
[1] HR Nassai : 1305, shahih Sunan An Nassai : 1237
[2] HR Muslim : 297, Tirmidzi : 3105, Ibnu Majah : 187, Ahmad : 18955
[3] Syarah Ashlus Sunnah Wa’tiqadud Diin, karya syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rajihi, hal. 79-80, lihat juga At Ta’liq Al Waqaad, karya Hanan Binti ‘Ali Al Yamani, hal. 139.
[4] QS Al Qiyamah : 22-23
[5] HR Bukhari : 6998, dan Muslim : 633 dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma
[6] QS Yunus : 26
[7] HR Muslim : 297, Tirmidzi : 3105, Ibnu Majah : 187, Ahmad : 18955
[8] Al Ibanah Al Kubra, Ibnu Baththah 7/3, lihat juga tafsiran yang semakna dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim : 297, Tirmidzi : 3105, Ibnu Majah : 187, dan Ahmad : 18955
[9] Tafsir al Qurthubi, 19/107
[10] Tafsir Al Qurthubi 8/330
[11] Tafsir Ibnu Katsir 4/262
[12] Tafsir At Thabari 15/69
[13] QS Qaaf : 35
[14] Tafsir al Qurthubi 17/21
[15] QS Al Muthaffifiin : 15
[16] Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah, Al Laalika-i 3/560 no : 883, lihat : Al I’tiqaad, Al Baihaqi 1/131, lihat juga : Syarah Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Ibnu Utsaimin 1/454-455, lihat : Manaqib As Syafi’i karya Al Baihaqi 1/419
[17] QS Al Muthaffifiin : 23
[18] Syarah Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Ibnu Utsaimin 1/450
[19] Tafsir Ibnu Katsir 8/279
[20] HR Bukhari : 554 dan Muslim : 633
[21] HR Bukhari : 7435 dan Muslim : 2577 dari Jarir bin Abdullah
[22] HR Bukhari : 6088, Muslim : 267, Abu Dawud : 4730
[23] Disampaikan oleh Syaikh Ali As Syibl dalam daurah Ushulus Sunnah Imam Al Muzani
[24] Hushulul Minnah Bisyarhi Ushulils Sunnah, Khalid Mahmud Al Juhani, hal. 56
[25] Tamamul Minnah Fi Syarhi Ushulis Sunnah, Abdullah Al Bukhari, hal. 86
[26] Idhahu Syarhis Sunnah, Muhammad bin Umar Bazmul, hal. 85
[27] Syarah Aqidah Thohawiyyah 1/189
[28] Risalah Ila Ahli Ast Tsaghar, Abul Hasan Al Asy’ari, hal. 134
[29] Syarah Lum’atil I’tiqad , Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, hal. 129
[30] Al Iqtishad Fil I’tiqad, Abdul Ghani Al Maqdisi, hal. 125, lihat Ad Dalil Ar Rasyid Ila Mutun Al Aqidah Wat tauhid, hal. 231.
[31] Syarah Ashlus Sunnah Wa’tiqadud Diin , syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rajihi, hal. 80
[32] QS Al Qiyamah : 22-23
[33] Syarah Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 1/448
[34] QS Al A’raf : 185
[35] QS Al Hadid : 13
[36] QS Al An’am : 103
[37] Tafsir Ibnu Katsir 3/310
[38] Tafsir Ibnu Katsir 3/310
[39] Syarah Aqidah Al Wasithiyyah , Ibnu Utsaimin, 1/457
[40] Syarah Aqidah Al Wasithiyyah , Ibnu Utsaimin, 1/457
[41] QS As Syuraa : 11
[42] QS Al Fiil : 1
[43] HR Tirmidzi : 2554
[44] Syarah Ashlus Sunnah wa’Tiqadud Diin, Syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rajihi, hal 79
[45] QS Al A’raf : 143
[46] QS Al Baqarah : 95
[47] QS Az Zukhruf : 77
[48] Dinukil oleh syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam syarah aqidah al Wasithiyyah 1/456