Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie
Hal pertama yang selayaknya menjadi senjata dan menjadi tujuan bagi penuntut ilmu adalah ikhlas karena Allah dalam berbicara dan beramal. Karena Allah tidak menerima amal kecuali yang murni diperuntukkan bagi-Nya Yang Maha Suci.
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman :
{وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَآءَ}
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama yang lurus” (QS. al-Bayyinah : 5)
Maka apabila seorang penuntut ilmu muslim selalu ikhlas, ia pasti meraih pahala yang besar, selalu diberkahi dalam usahanya, dan berhak meraih kemuliaan yang telah Allah sediakan bagi ilmu dan ulama serta siapa saja yang menempuh jalan mereka.
Namun apabila keikhlasan hilang dan ternodai kotoran-kotoran riya, yang jadi tujuan dari mencari ilmu adalah kebanggaan, pamor, kedudukan dan kekuasaan di antara manusia, maka ilmu syari’at yang ia kaji akan menjadi penghujat (yang melawan) dirinya pada hari kiamat nanti. Ia tidak memperoleh bagian dan pahalanya di akhirat.
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman :
{مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ}
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat.” (QS. As Syura : 20)
Jadi, orang yang dengan amalnya mencita-citakan keuntungan duniawi, mencari muka, dan menyombongkan diri dengannya, silakan saja ia ambil imbalan amalnya dari mereka yang ia tuju dan maksudkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَة
“Barangsiapa mempelajari ilmu yang diharapkan dengannya wajah Allah ‘Azza wa Jalla, namun dia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta dunia maka dia tidak akan mencium wangi surga di hari kiamat” (HR. Ahmad)
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata :
مَا ازْدَادَ عَبْدٌ عِلْمًا فَازْدَادَ فِيْ الدُّنْيَا رَغْبَةً إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللَّهِ بُعْدًا
“Seorang hamba yang ilmunya bertambah namun semakin bertambah pula cintanya kepada dunia pastilah ia bertambah jauh dari Allah”. (Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab, An Nawawi 1:23)
Ketika Bisyir bin Al Harits rahimahullah menyampaikan hadits dengan menyebutkan sanadnya ada rasa kebanggaan ketika menyebutkan nama-nama rawi ada nama syaikh yang ia meriwayatkan darinya, lalu ia mengatakan :
«أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ، إِنَّ لِذِكْرِ الْإِسْنَادِ فِي الْقَلْبِ خُيَلَاءَ»
“Aku mohon ampun kepada Allah, sungguh, ketika menyebutkan sanad tadi dalam hati ada rasa bangga”. (Al Jaami’ Li Akhlaqir Raawi Wa Adabis Saami’, Al Khatib Al Baghdadi : 1/338)
Imam Nawawi rahimahullah menasihatkan kepada para menuntut ilmu tentang niat :
وَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَمْتَنِعَ مِنْ تَعْلِيمِ أَحَدٍ لِكَوْنِهِ غَيْرَ صَحِيحِ النِّيَّةِ فَإِنَّهُ يُرْجَى لَهُ حُسْنُ النِّيَّةِ وَرُبَّمَا عَسُرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْمُبْتَدِئِينَ بِالِاشْتِغَالِ تَصْحِيحُ النِّيَّةِ لِضَعْفِ نُفُوسِهِمْ وَقِلَّةِ أُنْسِهِمْ بِمُوجِبَاتِ تَصْحِيحِ النِّيَّةِ
“Seharusnya seseorang tidak menghalangi diri dari mengajar karena niatnya tidak benar. Mungkin sangat sulit bagi para pemula untuk meluruskan niat karena jiwa mereka masih lemah, dan minimnya pembiasaan amal yang bisa memperbaiki niat mereka.
فَالِامْتِنَاعُ مِنْ تَعْلِيمِهِمْ يُؤَدِّي إلَى تَفْوِيتِ كَثِيرٍ مِنْ الْعِلْمِ مع انه يرجي ببركة العلم تصحيحها إذَا أَنِسَ بِالْعِلْمِ: وَقَدْ قَالُوا طَلَبْنَا الْعِلْمَ لِغَيْرِ اللَّهِ فَأَبَى أَنْ يَكُونَ إلَّا لِلَّهِ: مَعْنَاهُ كَانَتْ عَاقِبَتُهُ أَنْ صَارَ لِلَّهِ
Ketika mereka tidak mau mengajar menyebabkan banyak kesempatan ilmu yang terlewatkan. Padahal dengan keberkahan ilmu diharapkan bisa meluruskan niatnya apabila ia sudah akrab dengan ilmu. Para Ulama mengatakan : “Pernah kami cari ilmu karena selain Allah, ternyata ilmu tidak mau dicari kecuali karena Allah .” Artinya akhirnya mencari ilmu harus benar-benar karena Allah”. (Al Majmu’ Syarah Muhadzab, An Nawawi: 1/30 dengan sedikit perubahan)