Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie
Banyak sekali teks Al Qur’an yang menunjukan wajibnya mentadaburi Al Qur’an. Dan sebagiannya telah dijelaskan diatas. Dan tentang firman Allah subhanahu wa Ta’ala : Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
قَالَ ابْنُ سَعْدِيُّ : يَأْمُرُ تَعَالَى بِتَدَبُّرِ كِتَابِهِ وَهُوَ التَّأَمُلُ فِيْ مَعَانِيْهِ وَتَحْدِيقُ الْفِكْرِ فِيْهِ وَفِيْ مَبَادِئِهِ وَعَوَاقِبِهِ، وَلَوَازِمِ ذَلِكَ فَإِنَّ تَدَبُرَ كِتَابِ اللهِ مِفْتَاحٌ لِلْعُلُوْمِ وَالْمَعَارِفِ
Ibnu Sa’di rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk memperhatikan kitab-Nya, yaitu dengan memikirkan setiap maknanya serta kandungannya secara intensif, mabda’nya, akibatnya, serta berbagai kewajibannya, karena dalam memperhatikan Al Qur’an ada kunci ilmu pengetahuan.
وَبِهِ يَسْتَنْتِجُ كُلَّ خَيْرٍ وَتَسْتَخْرِجُ مِنْهُ جَمِيْعُ الْعُلُوْمٍ وَبِهِ يَزْدَادُ اْلإِيْمَانُ فِيْ الْقَلْبِ وَتَرَسَّخَ شَجَرَتُهُ فَإِنَّهُ يُعَرِّفُ بِالرَّبِّ الْمَعْبُوْدِ وَمَا لَهُ مِنْ صِفَاتِ الْكَمَالِ وَمَا يُنَزَّهُ عَنْهُ مِنْ سِمَاتِ النَّقْصِ
Dengannya dapat diambil berbagai kebaikan dan dimunculkan darinya berbagai ilmu. Dengannya keimanan di dalam hati akan bertambah dan menguat karena itu akan membawa kepada mengenal Ar Rabb al Ma’bud dan sifat-sifat kesempurnaan milik-Nya serta apa yang mensucikan-Nya dari sifat kekurangan.
وَيُعَرِّفُ الطَّرِيْقَ اَلْمُوصِلَةَ إِلَيْهِ وَصِفَةَ أَهْلِهَا، وَمَا لَهُمْ عِنْدَ الْقُدُوْمِ عَلَيْهِ
Dengan memperhatikannya juga akan menunjukan jalan yang membawa kepada-Nya menunjukkan ciri-ciri hamba-Nya serta menunjukan apa yang akan mereka dapatkan ketika mereka menghadap-Nya.
وَيُعَرِّفُ العَدُوَ الَّذِيْ هُوَ الْعَدُوُّ عَلَى الْحَقِيْقَةِ وَالطَرِيْقَ اَلْمُوصِلَةَ إِلَى الْعَذَابِ، وَصِفَةَ أَهْلِهَا، وَمَا لَهُمْ عِنْدَ وُجُوْدِ أَسْبَابِ الْعِقَابِ
Dengan memperhatikannya seseorang akan mengetahui musuh-musuhnya, musuh sejatinya, dan mengetahui jalan-jalan yang akan menyeretnya ke arah adzab atau ke neraka-Nya dan ciri-ciri penghuninya dan apa yang mereka dapatkan ketika terdapat setiap penyebab siksaan baginya.
وَكُلَّمَا ازْدَادَ الْعَبْدُ تَأَمُّلًا فِيْهِ ازْدَادَ عِلْمًا وَعَمَلًا وَبَصِيْرَةً، لِذَلِكَ أَمَرَ اللَّهُ بِذَلِكَ وَحَثَّ عَلَيهِ وَأَخبَرَ أنَّهُ هُوَ الْمَقْصُوْدُ بِإِنْزَالِ الْقُرْآنِ
Dan seorang hamba semakin dia memikirkan kandungan Al Qur’an ilmunya akan bertambah juga amal dan hujjahnya nyata. Oleh karena itu Allah subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk mentadaburi Al Qur’an menekankannya dan memberitakan bahwasanya itulah maksud dan tujuan Al Qur’an diturunkan,
كَمَا قَالَ تَعَالَى : {كِتَابٌ أَنزلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ}
Sebagaimana didalam firman-Nya, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”.
وَالسَّلَفُ مِنَ الصَّحَابَةِ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ وَمَنْ بَعْدَهُمْ طَبَقُوْا ذَلِكَ عَمَلِياً . روى الامام أحمد عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: حَدَّثَنَا مَنْ كَانَ يُقْرِئُنَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
Ulama terdahulu dari kalangan para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang setelah mereka telah mempraktekkan hal itu. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Abu Abdirrahman, dia berkata, “Memberitakan kepada kami orang-orang yang mengajarkan kami di antara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
أَنَّهُمْ كَانُوا يَقْتَرِئُونَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ آيَاتٍ ، فَلَا يَأْخُذُونَ فِي الْعَشْرِ الْأُخْرَى حَتَّى يَعْلَمُوا مَا فِي هَذِهِ مِنَ الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ، قَالُوا: فَعَلِمْنَا الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ
Bahwasanya mereka mempelajari Al Qur’an dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepuluh ayat. Mereka tidak mempelajari ayat lain hingga mereka mengetahui kandungan sepuluh ayat ini baik ilmu dan amal. Mereka mengatakan, ‘Kami mempelajari ilmu dan juga amal.”
ويُسْتَأْنَسُ لِذَلِكَ أَيْضاً بِمَا رَوَاهُ مَالِكٌ فِيْ مُوَطَأِهِ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ: كُنْتُ أَنَا وَمُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ جَالِسَيْنِ، فَدَعَا مُحَمَّدٌ رَجُلاً،
Dan yang menguatkan hal itu, hadits yang diriwayatkan Imam Malik dalam Muwaththa’-nya, dari Yahya bin Sa’id, dia berkata, “Saya dan Muhammad bin Yahya bin Hibban sedang duduk. Muhammad memanggil seorang laki-laki,
فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِالَّذِي سَمِعْتَ مِنْ أَبِيكَ، فَقَالَ الرَّجُلُ: أَخْبَرَنِي أَبِي أَنَّهُ سأَل زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ، فَقَالَ: كَيْفَ تَرَى فِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِي سَبْعٍ؟
Lalu berkata, ‘Beritakanlah kepadaku apa yang kamu dengar dari ayahmu.” Laki-laki itu menjawab, “Ayahku memberitahukan kepadaku bahwasanya dia mendatangi Zaid bin Tsabit lalu berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu tentang mengkhatamkan Al Qur’an dalam tujuh hari?
فَقَالَ زَيْدٌ : حَسَنٌ، وَلأَنْ أَقْرَأَهُ فِي نِصْفِ شَهْرٍ، أَوْ عَشْرٍين لَيْلَةً، أَحَبُّ إِلَيَّ، وَسَلْنِي لِمَ ذَاكَ؟ قَالَ: فَإِنِّي أَسْأَلُكَ، قَالَ زَيْدٌ: لِكَيْ أَتَدَبَّرَهُ , وَأَقِفَ عَلَيْهِ
Zaid menjawab, Bagus, seandainya aku mengkhatamkan Al Qur’an pada setengah bulan atau sepuluh hari itu lebih kusukai. Tanyalah aku, mengapa begitu? Ayahku berkata, Aku menanyakan hal itu kepadamu. Zaid berkata, “Agar aku dapat memikirkan kandungannya dan mengamalkannya.