ADAB MEMBACA AL QUR’AN – DISUNNAHKAN SUJUD TILAWAH KETIKA MEMBACA AYAT SAJDAH

Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie

Didalam kitabullah terdapat 15 ayat sajdah. Disunnahkan bagi orang yang membaca Al Qur’an untuk sujud bila melewati ayat ini dan membaca dzikir sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

اللَّهُمَّ احْطُطْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا، وَاكْتُبْ لِي بِهَا أَجْرًا، وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا» وعند الترمذي بزيادة : (وَتَقَبَّلْهَا مِنِّي كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ) ([ . رواه الترمذي(3424)، وابن ماجه(1053) واللفظ له، وقال الألباني حسن. برقم(872-1062)]) .

“Ya Allah dengan sujud ini hapuslah dosa-dosa ku, tetapkanlah pahala untukku, dan jadikanlah sujudku disisi-Mu sebagai simpananku” dan dalam riwayat Tirmidzi dengan tambahan : “Dan terimalah sujudku, sebagaimana Engkau terima dari hamba-Mu Dawud”

أَوْ يَقُوْلُ : سَجَدَ وَجْهِي لِمَنْ خَلَقَهُ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ) ([ . رواه أبو داود (1414) واللفظ له، وصححه الألباني برقم(1255) ، ورواه أحمد(23502)، والنسائي(1129)، والترمذي(3425)]).

Atau membaca : Wajahku sujud kepada yang menciptakannya dan memisahkan pendengaran, dan penglihatanku, dengan kehendaknya dan kekuatannya

أَوْ يَقُوْلُ : «اللهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ، وَصَوَّرَهُ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ» ([ . رواه مسلم(771)، وأحمد(805)، والنسائي(1126)، والترمذي(3421)، وأبو داود(760)، وابن ماجه(1054)]) .

Atau membaca : Ya Allah untuk-Mu aku bersujud kepada-Mu aku beriman, untuk-Mu aku menyerahkan diri, bersujud wajahku yang Engkau telah ciptakan, dan Engkau pisahkan antara penglihatan dan pendengaran, maha suci Allah yang menciptakan seindah indahnya

وَهُوَ لَيْسَ بِوَاجِبٍ بَلْ سُنَّةٌ يُثَابُ فَاعِلُهَا وَلَا يُعَاقَبُ تَارِكُهَا، وَلَكِنْ لَا يَنْبَغِيْ لِأَهْلِ الْإِيْمَانِ تَرْكُهَا وَالْتَفْرِيْطُ فِيْهَا.

Sujud tilawah bukanlah sesuatu yang wajib, tetapi sunnah yang akan diberikan pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi siapa yang meninggalkannya. Akan tetapi, bagi orang-orang yang beriman tidak pantas meninggalkannya dan melalaikannya.

وَدَلِيلُ سُنِّيَّتِهَا وَعَدَمِ وُجُوْبِهَا، قِرَاءَةُ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الْقُرْآنَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَسْجُدْ فِيْهَا

Dan dalilnya bahwa ini adalah sunnah dan bukan wajib. Zaid bin Tsabit pernah membaca Al-Qur’ an di hadapan Rasulullah dan beliau tidak sujud ketika melewati ayat sajdah.

فَعَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “وَالنَّجْمِ” فَلَمْ يَسْجُدْ فِيهَا) ([ . رواه البخاري(1037، ومسلم(577)، وأحمد(21081)، والترمذي(576)، والنسائي(960)، وأبو داود(1404)]) .

Dari Atha’ bin Yasar dari Zaid bin Tsabit, dia berkata, “Aku membaca surat An-Najm di hadapan Nabi dan beliau tidak sujud tilawah padanya.”

وَكَذَلِكَ فِعْلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ حَيْثُ قَرَأَ فِيْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ بِسُوْرَةِ النَّحْلِ ثُمَّ سَجَدَ عِنْدَ مَوْضِعِ السُّجُوْدِ، فَلَمَّا كَانَتِ الْجُمُعَةِ الَّتِيْ تَلِيْهَا قَرَأَ بِالنَّحْلِ وَلِمَّا جَاءَ عِنْدَ السَّجْدَةِ قَالَ :

Begitu juga yang dilakukan Umar bin Khaththab di atas mimbar ketika khutbah Jum’at, ia membaca surat An-Nahl, lalu ia bersujud ketika sampai pada ayat sajdah. Dan pada hari Jum’at berikutnya, Umar kembali membaca surat An-Nahl, tatkala sampai pada ayat sajdah dia berkata,

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا نَمُرُّ بِالسُّجُودِ، فَمَنْ سَجَدَ، فَقَدْ أَصَابَ وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ، فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَلَمْ يَسْجُدْ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ» وَزَادَ نَافِعٌ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، «إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَفْرِضِ السُّجُودَ إِلَّا أَنْ نَشَاءَ» ([ . رواه البخاري(1077)]) .

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kita melewati ayat sajdah, siapa yang sujud dia telah melakukan sesuatu yang benar, dan siapa yang tidak sujud, maka tidak berdosa.” Dan Umar tidak bersujud. Nafi’ menambahkan dari Ibnu Umar “Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan sujud. Kecuali jika kita ingin melakukannya.”

مَسْأَلَةٌ : هَلْ سُجُوْدُ التِّلَاوَةِ يَلْزَمُ لَهَا مَا يَلْزَمُ لِلصَّلَاةِ مِنَ التَّكْبِيْرِ وَالتَّسْلِيْمِ وَالطَّهَارَةِ وَاسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ ؟

TANYA JAWAB SEPUTAR SUJUD TILAWAH PADA SAAT MEMBACA AYAT SAJDAH

Soal : Apakah sujud tilawah ada memiliki tata cara sebagaimana shalat, dengan takbir, mengucapkan salam, bersuci, dan menghadap kiblat?

الْجَوَابُ : وَسُجُودُ الْقُرْآنِ لَا يُشْرَعُ فِيهِ تَحْرِيمٌ (تَكْبِيْرَةُ إِحْرَامٍ) وَلَا تَحْلِيلٌ (تَسْلِيْمٌ) : هَذَا هُوَ السُّنَّةُ الْمَعْرُوفَةُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ عَامَّةُ السَّلَفِ وَهُوَ الْمَنْصُوصُ عَنْ الْأَئِمَّةِ الْمَشْهُورِينَ.

Jawab : Sujud tilawah tidak disyariatkan takbiratul ihram dan juga mengucapkan salam. Inilah sunnah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan inilah yang dilakukan oleh ulama salaf. Ini pula yang dinashkan oleh para imam yang masyhur.

وَعَلَى هَذَا فَلَيْسَتْ صَلَاةً فَلَا تُشْتَرَطُ لَهَا شُرُوطُ الصَّلَاةِ بَلْ تَجُوزُ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ. كَمَا كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَسْجُدُ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ؛ لَكِنْ هِيَ بِشُرُوطِ الصَّلَاةِ أَفْضَلُ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُخِلَّ بِذَلِكَ إلَّا لِعُذْرِ قَالَهُ اِبْنُ تَيْمِيَةَ ([ . الفتاوى(23/165)]) .

Berdasarkan hal ini, sujud tilawah bukanlah shalat. Jadi tidak disyaratkan sebagaimana syarat-syarat shalat, bahkan boleh dilakukan dalam keadaan tidak suci. Seperti yang dilakukan Ibnu Umar, ia sujud dalam keadaan tidak suci. Akan tetapi, dilakukan dengan menjaga syarat seperti halnya shalat itu lebih afdhal. Dan tidak selayaknya bila meninggalkan syarat-syarat itu untuk sujud tilawah kecuali udzur. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah.”

فَائِدَةٌ : يُسَنُّ السُّجُوْدُ لِلتِّلَاوَةِ فِيْ حَقِّ الْمُسْتَمِعِ دُوْنَ السَّامِعِ, وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ الْمُسْتَمِعَ هُوَ الَّذِيْ يُنْصِتُ لِلشَّيْءِ، وَعَكْسُهُ السَّامِعُ,

Faedah : Disunnahkan sujud tilawah pada orang yang menyimak, bukan orang yang mendengar sambil lalu. Perbedaan keduanya adalah bahwasanya orang yang menyimak adalah orang yang mendengarkan dengan seksama, berbeda dengan orang yang mendengarkan sambil lalu.

فَلَوْ كَانَ هُنَاكَ اثْنَانِ أَحَدُهُمَا يَسْتَمِعُ لِقِرَاءَةِ قَارِيْءِ الْقُرْآنِ، وَالْآخَرُ مَرَّ بِنَفْسِ الْمَكَانِ

Jika disana ada dua orang yang salah satunya menyimak bacaan Al Qur’an dan yang lainnya lewat di tempat yang sama

ثُمَّ سَجَدَ الْقَارِيْءُ لِلْسَجْدَةِ؛ فَإِنَّهُ فِيْ هَذِهِ الْحَالَةِ يُسَنُّ سُجُوْدُ التِّلَاوَةِ لِلْمُسْتَمِعْ دُوْنَ السَّامِعِ

Kemudian orang yang membaca Al Qur’an sujud, maka dalam kondisi seperti ini, yang menyimak disunnahkan sujud tilawah, sedangkan yang sekedar mendengarkan tidak.

لِأَنَّ الْمُسْتَمِعَ لَهُ حُكْمُ الْقَارِيْءِ وَأَمَّا السَّامِعَ فَلَا يُأْخَذُ حُكْمُهُ، وَيَظْهَرُ هَذَا جَلِياً فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى لِمُوْسَى وَهَارُوْنَ عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ :

Karena yang menyimak sama dengan yang membaca, berbeda dengan yang mendengarkan sambil lalu. Hal ini sangat jelas dalam firman Allah kepada Musa dan Harun,

{قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا} [يونس : 89] مَعَ أَنَّ الدَّاعِيَّ مُوْسَى؛ وَلَكِنْ لَمَّا كَانَ هَارُوْنُ يُؤَمِّنُ عَلَى دُعَاءِ مُوْسَى أَخَذَ حُكْمَ الدَّاعِي فَشَمِلَهُ الْخِطَابُ ([ . انظر الشرح الممتع لابن عثيمين (4/131-133)]) .

“Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus.”. Meskipun yang berdoa ketika itu hanya Nabi Musa ‘alaihissalam akan tetapi, tatkala Nabi Harun mengaminkan do’a Nabi Musa, dia sama dengan orang yang berdo’a. Oleh karena itu objek ayatpun untuk keduanya.

فَائِدَةٌ 2 : لَا يَنْبَغِي الْاقْتِصَارُ عَلَى الذِّكْرِ الْوَارِدِ فِيْ سُجُوْدِ التِّلَاوَةِ، بَلْ يَجِبُ الْاِتْيَانُ بِذِكْرِ السُّجُوْدِ (سُبْحَانَ رَبِيَّ الْأَعْلَى) أَوَّلاً ثُمَّ يَأْتِيْ السَّاجِدُ بِمَا شَاءَ مِنْ أَذْكَارِ سُجُوْدِ التِّلَاوَةِ، بَلْ عَدَّ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ ذَلِكَ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ ([ . انظر تصحيح الدعاء، للشيخ : بكر أبو زيد . ص293 . ط . دار العاصمة، المملكة العربية السعودية، الطبعة الأولى 1419هـ]) .

Tidak baik hanya membaca dzikir yang diriwayatkan dalam hal sujud tilawah. Akan tetapi, harus membaca dzikir ketika sujud, yaitu subhanarabbiyal a’la pertama kali, kemudian membaca apa yang dia yang inginkan dari sujud-sujud tilawah. Bahkan sebagian ulama menganggap hal itu termasuk bid’ah yang di ada-adakan.

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *